29 Jan 2010

SYAFA'AT RASULULLAH SAW DI DUNIA


Syafa’at Nabi s.a.w Di Dunia
Semua orang beriman kepada Allah dan rasul-Nya pasti akan masuk Surga, bahkan dengan iman seberat atom sekalipun. Hal tersebut merupakan janji Allah yang tidak diingkari. Namun, untuk dapat masuk surga dengan selamat tanpa singgah di neraka, orang tersebut harus mampu menyempurnakan imannya di dunia. Iman yang tidak sempurna berarti ada kotoran di dalamnya. Kotoran tersebut boleh jadi berupa dosa yang belum diampuni atau tapak tilas perbuatan maksiat yang membentuk menjadi karakter yang tidak terpuji, seperti hubbud dunya, iri, hasud, nifak dll. Apabila karakter-karakter tersebut belum mampu disucikan di dunia sehingga terbawa sampai mati, berarti orang tersebut mati dalam keadaan iman tidak sempurna. Untuk menyempurnakan imannya, berarti terlebih dahulu mereka harus dibakar dengan api neraka. Jadi orang beriman dimasukkan Neraka itu bukan untuk disiksa, tetapi disucikan imannya supaya pantas menjadi penduduk Surga.
Seandainya dengan bekal iman tersebut mereka mau berusaha mendapat syafa’at Rasul s.a.w sejak di dunia, maka mereka akan mendapatkan hidayah dan inayah dari Allah s.w.t. Itulah ‘syafa’at Nabi di dunia’, dengan hidayah dan inayah itu menjadikan manusia mampu melaksanakan kewajiban agamanya dengan baik. Dengan demikian, disamping mereka akan mendapatkan pahala dari segala kebajikan yang telah dikerjakan, juga mendapatkan syafa’at di akhirat. Itu bisa terjadi, karena setiap manusia akan mendapatkan sesuatu sesuai dengan yang mereka usahakan. Allah s.w.t menegaskan dengan firman-Nya:
وَأَنْ لَيْسَ لِلْإِنْسَانِ إِلَّا مَا سَعَى(39)وَأَنَّ سَعْيَهُ سَوْفَ يُرَى(40)ثُمَّ يُجْزَاهُ الْجَزَاءَ الْأَوْفَى – 41
“Dan bahwasanya seorang manusia tiada memperoleh selain apa yang telah diusahakannya.- Dan bahwasanya usahanya itu kelak akan diperlihatkan (kepadanya).- Kemudian akan diberi balasan kepadanya dengan balasan yang paling sempurna.QS.an Najm(53)39-41)
Maksudnya, barangsiapa di dunia tidak pernah berusaha mendapatkan syafa’at Nabi s.a.w dengan jalan bertawasul kepada Beliau, berarti sedikitpun tidak akan mendapatkan syafa’at tersebut di akherat. Jika mereka itu mati dalam keadaan iman sempurna berarti akan masuk surga dengan selamat, namun jika tidak, berarti tidak ada yang dapat menolong saat mereka dimasukan neraka. Namun, tanpa syafa’at Nabi di dunia, barangkali tidak mungkin orang dapat menyempurnakan imannya sehingga dapat masuk surga dengan selamat.
Bertawasul dalam arti melaksanakan “Interaksi ruhaniah” antara seorang murid dengan guru-guru ruhaniyahnya sampai dengan kepada Rasulullah s.a.w. Tawasul tersebut dilakukan dengan tujuan untuk tercapainya kebersamaan rasa dan nuansa secara ruhaniah di saat melaksanakan ibadah kepada Allah Ta’ala. Hal itu melaksanakan perintah Allah yang dinyatakan dalam firman-Nya:
يَاأَيُّهَا الَّذِينَ ءَامَنُوا اتَّقُوا اللَّهَ وَكُونُوا مَعَ الصَّادِقِينَ
“Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah kamu bersama-sama dengan orang yang shiddiq”. (QS.at-Taubah: 9/119)
Bersama-sama dengan orang yang shiddiq secara ruhaniyah, itulah yang dimaksud dengan interaksi ruhaniyah. Hal tersebut merupakan kondisi yang memang bisa dimungkinkan, sebagai sunnatullah yang tidak ada perubahan lagi untuk selamnya. Orang yang hidup di alam dunia, dengan matahatinya dapat berinteraksi dan berkomunikasi secara ruhaniyah dengan orang-orang yang hidup di alam barzah, karena kemungkinan itu dinyatakan Allah dengan firman-Nya:
وَلَا تَقُولُوا لِمَنْ يُقْتَلُ فِي سَبِيلِ اللَّهِ أَمْوَاتٌ بَلْ أَحْيَاءٌ وَلَكِنْ لَا تَشْعُرُونَ
“Dan janganlah kamu mengatakan terhadap orang yang gugur di jalan Allah (mereka itu) mati, bahkan mereka (sebenarnya) hidup, akan tetapi kamu tidak bisa merasakan”. (QS.al-Baqoroh: 2/154)
Setiap orang melaksanakan perintah Allah berarti beribadah dan setiap ibadah yang ikhlas pasti mendapatkan pahala, maka pahala pertama yang diberikan kepada orang yang melaksanakan ‘tawasul secara ruhaniah’ adalah mendapatkan ‘rahasia syafa’at’ dari yang ditawasuli, yakni dari Rasulullah s.a.w. Rahasia syafa’at tersebut berupa kemudahan di dalam melaksanakan ibadah maupun penerimaan ibadah itu di sisi-Nya. Itulah juga yang dimaksud dengan syafa’at Nabi di dunia. Dengan syafa’at di dunia tersebut, sehingga interaksi ruhaniyah antara seorang pengikut dengan yang diikuti dapat terkondisikan dengan mudah, maka seorang salik dapat merasakan manisnya beribadah karena ibadah itu dapat dilaksanakan dengan khusu’. Amaliah tersebut menjadi ibadah yang mampu menangkis segala tipu daya setan dan dorongan nafsu syahwat serta aktifitas rasional yang melalaikan. Dengan yang demikian itu maka do’a dan munajat seorang hamba mendapatkan ijabah dari Allah Ta’ala.
Kebanyakan orang mengartikan istilah ‘mati’ di dalam ayat di atas terjebak secara leksikal yakni sebagai ‘batas perpisahan’ antara alam kehidupan dan alam kematian. Mereka mengira dengan mati itu akan dipisahkan dari apa-apa yang mereka cintai. Akibatnya, semua orang menghindari kematian. Padahal, meskipun kematian itu dihindari, apabila ajalnya sudah datang, sedikitpun tidak dapat diundur. Sesungguhnya hakekat mati itu bukan batas antara kehidupan dan kematian, akan tetapi batas antara dua alam kehidupan. Yang satu kehidupan di alam dunia dan satunya di alam barzah. Masing-masing kehidupan itu sejatinya masih berkaitan erat. Namun, oleh karena sebagian besar orang hidup di alam dunia tidak dapat merasakan kehidupan alam barzah, maka batas pergantian dua kehidupan itu dianggap oleh mereka sebagai terputusnya kehidupan atau mati.
Bagi orang yang tidak percaya kehidupan akherat, sehingga kehidupan dunianya hanya dirasakan sebagai kesenangan saja, maka saat matinya berarti akan dipisahkan dengan segala kecintaannya, dan sesudah matinya akan dipenjara di dalam siksa kubur yang diingkarinya. Hal itu bisa terjadi, karena kebebasan hidupnya sudah dihabiskan hanya untuk memperturutkan kemauan nafsu syahwat belaka, maka di alam barzah sudah tidak ada lagi kebebasan baginya.
Adapun orang yang beriman dan beramal sholeh serta yakin dengan kehidupan akherat, sehingga kehidupan dunianya hanya dijadikan sebagai perladangan untuk hari akherat, maka setelah matinya berarti memasuki saat panen. Di alam barzah itu mereka akan menuai apa-apa yang selama ini ditanam di dunia. Mereka akan memasuki kemerdekaan hidup karena selama di dunia kemauan nafsu sahwatnya dipenjarakan oleh kepentingan akherat. Di alam kemerdekan itu akan terbuka peluang baginya,—sebagai sunnatullah yang sudah ditetapkan—mereka dapat bertemu dan berkomunikasi dengan teman-temannya yang masih hidup, hanya saja sebagian besar orang yang ditemui itu tidak dapat merasakan kehadiran mereka.
Interaksi ruhaniah tersebut adalah buah ibadah—sebagai bagian dari syafa’at Nabi yang diturunkan di dunia. Ketika seorang hamba mampu meredam kemauan dan kemampuan basyariah, itu dilakukan saat dia berdzikir dan beribadah, dengan izin Allah matahati yang ada di dalam rongga dada dapat merasakan kejadian-kejadian yang tidak dapat dilihat oleh mata kepala. Allah s.w.t yang menciptakan sunnah-Nya, maka hanya Allah pula Yang Maha Kuasa untuk menciptakan perubahan sunnah itu bagi seorang hamba yang dikehendaki-Nya. Wa Allahu A’lam.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar