30 Jan 2010

MENGENAI MAULID NABI MUHAMMAD SAW

Tersebut di dalam kitab I’anathuth Tholibin oleh Sayyidisy-Syaikh Abu Bakar Syatha ad-Dimyathi:-

Telah berkata Imam Hasan al-Bashri (Wafat 116H, pernah bertemu dengan lebihkurang 100 orang shahabat): “Aku kasih jika ada bagiku seumpama gunung Uhud emas untuk kunafkahkan atas pembacaan mawlid ar-Rasul”.

Telah berkata Shaikh Junaid al-Baghdadi (wafat 297H): “Sesiapa yang hadir mawlid ar-Rasul dan membesarkan kadar baginda, maka telah berjayalah dia dengan iman”.
Kata-kata ulama ini juga boleh didapati didalam kitab an-Nafahatul Miskiyyah fi fadhilathi qiraati maulidi khairil bariyyah karangan asy-Shaikh Muhammad bin Abdullah as-Suhaimi dan juga terjemahannya yang bertajuk Hembusan Kasturi oleh Fadhilatul Ustaz Taha as-Suhaimi.

Selain itu bagi menjawab tohmahan mereka kononnya ulamak silam mencerca sambutan ini, kita bawakan kata-kata yang jelas dari tiga ulamak yang kehebatan mereka diakui semua.
1) Al-Imam al-Hujjah al-Hafiz as-Suyuthi:

Di dalam kitab beliau, al-Hawi lil Fatawa, beliau telah meletakkan satu bab yang dinamakan Husnul Maqsad fi ‘Amalil Maulid, halaman 189, beliau mengatakan: Telah ditanya tentang amalan Maulid Nabi صلى الله عليه وسلم pada bulan Rabiul Awal, apakah hukumnya dari sudut syara’? Adakah ia dipuji atau dicela? Adakah pelakunya diberikan pahala atau tidak?

Dan jawapannya di sisiku: Bahawasanya asal kepada perbuatan maulid, iaitu mengadakan perhimpunan orangramai, membaca al-Quran, sirah Nabi dan kisah-kisah yang berlaku pada saat kelahiran baginda dari tanda-tanda kenabian, dan dihidangkan jamuan, dan bersurai tanpa apa-apa tambahan daripadanya, ia merupakan bid’ah yang hasanah yang diberikan pahala siapa yang melakukannya kerana padanya mengagungkan kemuliaan Nabi صلى الله عليه وسلم dan menzahirkan rasa kegembiraan dengan kelahiran baginda yang mulia.

2) Syeikh Ibn Taimiyah : “Di dalam kitab beliau, Iqtidha’ as-Shiratil Mustaqim, cetakan Darul Hadis, halaman 266, beliau nyatakan: Begitu juga apa yang dilakukan oleh sebahagian manusia samada menyaingi orang Nasrani pada kelahiran Isa عليه السلام, ataupun kecintaan kepada Nabi صلى الله عليه وسلم dan mengagungkan baginda, dan Allah mengurniakan pahala kepada mereka atas kecintaan dan ijtihad ini…”

Seterusnya beliau nyatakan lagi : “Ia tidak dilakukan oleh salaf, tetapi ada sebab baginya, dan tiada larangan daripadanya.”

Kita pula tidak mengadakan maulid melainkan seperti apa yang dikatakan oleh Ibn Taimiyah sebagai: “Kecintaan kepada Nabi dan mengagungkan baginda.”
3) Syeikhul Islam wa Imamussyurraah al-Hafiz Ibn Hajar al-‘Asqalani: Berkata al-Hafiz as-Suyuthi dalam kitab yang disebutkan tadi: Syeikhul Islam Hafizul ‘Asr Abulfadhl Ibn Hajar telah ditanya tentang amal maulid, dan telah dijawab begini: “Asal amal maulid (mengikut cara yang dilakukan pada zaman ini) adalah bid’ah yang tidak dinaqalkan dari salafussoleh dari 3 kurun (yang awal), walaubagaimanapun ia mengandungi kebaikan serta sebaliknya. Maka sesiapa yang melakukan padanya kebaikan dan menjauhi yang buruk, ia merupakan bid’ah yang hasanah.

Telah jelas bagiku pengeluaran hukum ini dari asal yang tsabit iaitu apa yang tsabit dalam shahihain (shahih al-Bukhari dan shahih Muslim) bahawa Nabi صلى الله عليه وسلم ketika tiba di Madinah mendapati orang Yahudi berpuasa Asyura’, lalu baginda bertanya kepada mereka (sebabnya). Mereka menjawab: Ia merupakan hari ditenggelamkan Allah Fir’aun dan diselamatkan Musa, maka kami berpuasa kerana bersyukur kepada Allah. Maka diambil pengajaran darinya melakukan kesyukuran kepada Allah atas apa yang Dia kurniakan pada hari tertentu, samada cucuran nikmat atau mengangkat kesusahan.”

Seterusnya beliau berkata lagi: Dan apakah nikmat yang lebih agung dari nikmat diutuskan Nabi ini صلى الله عليه وسلم, Nabi Yang Membawa Rahmat, pada hari tersebut? Dan ini adalah asal kepada amalan tersebut. Manakala apa yang dilakukan padanya, maka seharusnya berlegar pada apa yang difahami sebagai bentuk kesyukuran kepada Allah Ta’ala samada tilawah, memberi makan, sedekah, membacakan puji-pujian kepada Nabi, penggerak hati atau apa sahaja bentuk kebaikan dan amal untuk akhirat.”

Inilah istinbat-istinbat yang dikatakan oleh mereka yang menentang sambutan maulid (anti-maulid) sebagai istidlal yang bathil serta qias yang fasid, lalu mereka mengingkarinya. Cukuplah bagi kita memerhatikan siapakah yang mengingkari dan siapa pula yang mereka ingkari!!!

PERINGATAN MAULID NABI MUHAMMAD SAW

ketika kita membaca kalimat diatas maka didalam hati kita sudah tersirat bahwa kalimat ini akan langsung membuat alergi bagi sebagian kelompok muslimin, saya akan meringkas penjelasannya secara Aqlan wa syar’an, (logika dan syariah).

Sifat manusia cenderung merayakan sesuatu yg membuat mereka gembira, apakah keberhasilan, kemenangan, kekayaan atau lainnya, mereka merayakannya dengan pesta, mabuk mabukan, berjoget bersama, wayang, lenong atau bentuk pelampiasan kegembiraan lainnya, demikian adat istiadat diseluruh dunia.

Sampai disini saya jelaskan dulu bagaimana kegembiraan atas kelahiran Rasul saw.

Allah merayakan hari kelahiran para Nabi Nya
Firman Allah : (Isa berkata dari dalam perut ibunya) Salam sejahtera atasku, di hari kelahiranku, dan hari aku wafat, dan hari aku dibangkitkan. (QS Maryam 33)
Firman Allah : Salam Sejahtera dari kami (untuk Yahya as) dihari kelahirannya, dan hari wafatnya dan hari ia dibangkitkan. (QS Maryam 15)
Rasul saw lahir dengan keadaan sudah dikhitan (Almustadrak ala shahihain hadits no.4177)
Berkata Utsman bin Abil Ash Asstaqafiy dari ibunya yg menjadi pembantunya Aminah ra bunda Nabi saw, ketika Bunda Nabi saw mulai saat saat melahirkan, ia (ibu utsman) melihat bintang bintang mendekat hingga ia takut berjatuhan diatas kepalanya, lalu ia melihat cahaya terang benderang keluar dari Bunda Nabi saw hingga membuat terang benderangnya kamar dan rumah (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Ketika Rasul saw lahir kemuka bumi beliau langsung bersujud (Sirah Ibn Hisyam)
Riwayat shahih oleh Ibn Hibban dan Hakim bahwa Ibunda Nabi saw saat melahirkan Nabi saw melihat cahaya yg terang benderang hingga pandangannya menembus dan melihat Istana Istana Romawi (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)
Malam kelahiran Rasul saw itu runtuh singgasana Kaisar Kisra, dan runtuh pula 14 buah jendela besar di Istana Kisra, dan Padamnya Api di Kekaisaran Persia yg 1000 tahun tak pernah padam. (Fathul Bari Almasyhur juz 6 hal 583)

Kenapa kejadian kejadian ini dimunculkan oleh Allah swt?, kejadian kejadian besar ini muncul menandakan kelahiran Nabi saw, dan Allah swt telah merayakan kelahiran Muhammad Rasulullah saw di Alam ini, sebagaimana Dia swt telah pula membuat salam sejahtera pada kelahiran Nabi nabi sebelumnya.

Rasulullah saw memuliakan hari kelahiran beliau saw
Ketika beliau saw ditanya mengenai puasa di hari senin, beliau saw menjawab : “Itu adalah hari kelahiranku, dan hari aku dibangkitkan (Shahih Muslim hadits no.1162). dari hadits ini sebagian saudara2 kita mengatakan boleh merayakan maulid Nabi saw asal dg puasa.

Rasul saw jelas jelas memberi pemahaman bahwa hari senin itu berbeda dihadapan beliau saw daripada hari lainnya, dan hari senin itu adalah hari kelahiran beliau saw. Karena beliau saw tak menjawab misalnya : puasa hari senin itu mulia dan boleh boleh saja.., namun beliau bersabda : itu adalah hari kelahiranku, menunjukkan bagi beliau saw hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah dari hari hari lainnya, contoh mudah misalnya zeyd bertanya pada amir : bagaimana kalau kita berangkat umroh pada 1 Januari?, maka amir menjawab : oh itu hari kelahiran saya. Nah.. bukankah jelas jelas bahwa zeyd memahami bahwa 1 januari adalah hari yg berbeda dari hari hari lainnya bagi amir?, dan amir menyatakan dengan jelas bahwa 1 januari itu adalah hari kelahirannya, dan berarti amir ini termasuk orang yg perhatian pada hari kelahirannya, kalau amir tak acuh dg hari kelahirannya maka pastilah ia tak perlu menyebut nyebut bahwa 1 januari adalah hari kelahirannya,

dan Nabi saw tak memerintahkan puasa hari senin untuk merayakan kelahirannya, pertanyaan sahabat ini berbeda maksud dengan jawaban beliau saw yg lebih luas dari sekedar pertanyaannya, sebagaimana contoh diatas, Amir tak mmerintahkan umroh pada 1 januari karena itu adalah hari kelahirannya, maka mereka yg berpendapat bahwa boleh merayakan maulid hanya dg puasa saja maka tentunya dari dangkalnya pemahaman terhadap ilmu bahasa.

Orang itu bertanya tentang puasa senin, maksudnya boleh atau tidak?, Rasul saw menjawab : hari itu hari kelahiranku, menunjukkan hari kelahiran beliau saw ada nilai tambah pada pribadi beliau saw, sekaligus diperbolehkannya puasa dihari itu.
Maka jelaslah sudah bahwa Nabi saw termasuk yg perhatian pada hari kelahiran beliau saw, karena memang merupakan bermulanya sejarah bangkitnya islam.

Sahabat memuliakan hari kelahiran Nabi saw
Berkata Abbas bin Abdulmuttalib ra : Izinkan aku memujimu wahai Rasulullah.., maka Rasul saw menjawab: silahkan..,maka Allah akan membuat bibirmu terjaga, maka Abbas ra memuji dg syair yg panjang, diantaranya : dan engkau (wahai nabi saw) saat hari kelahiranmu maka terbitlah cahaya dibumi hingga terang benderang, dan langit bercahaya dengan cahayamu, dan kami kini dalam naungan cahaya itu dan dalam tuntunan kemuliaan (Al Quran ) kami terus mendalaminya(Mustadrak ala shahihain hadits no.5417)

Kasih sayang Allah atas kafir yg gembira atas kelahiran Nabi saw
Diriwayatkan bahwa Abbas bin Abdulmuttalib melihat Abu Lahab dalam mimpinya, dan Abbas bertanya padanya : bagaimana keadaanmu?, abu lahab menjawab : di neraka, Cuma diringankan siksaku setiap senin karena aku membebaskan budakku Tsuwaibah karena gembiraku atas kelahiran Rasul saw (Shahih Bukhari hadits no.4813, Sunan Imam Baihaqi Alkubra hadits no.13701, syibul iman no.281, fathul baari Almasyhur juz 11 hal 431). Walaupun kafir terjahat ini dibantai di alam barzakh, namun tentunya Allah berhak menambah siksanya atau menguranginya menurut kehendak Allah swt, maka Allah menguranginya setiap hari senin karena telah gembira dg kelahiran Rasul saw dengan membebaskan budaknya.

Walaupun mimpi tak dapat dijadikan hujjah untuk memecahkan hukum syariah, namun mimpi dapat dijadikan hujjah sebagai manakib, sejarah dan lainnya, misalnya mimpi orang kafir atas kebangkitan Nabi saw, maka tentunya hal itu dijadikan hujjah atas kebangkitan Nabi saw maka Imam imam diatas yg meriwayatkan hal itu tentunya menjadi hujjah bagi kita bahwa hal itu benar adanya, karena diakui oleh imam imam dan mereka tak mengingkarinya.

Rasulullah saw memperbolehkan Syair pujian di masjid
Hassan bin Tsabit ra membaca syair di Masjid Nabawiy yg lalu ditegur oleh Umar ra, lalu Hassan berkata : aku sudah baca syair nasyidah disini dihadapan orang yg lebih mulia dari engkau wahai Umar (yaitu Nabi saw), lalu Hassan berpaling pada Abu Hurairah ra dan berkata : bukankah kau dengar Rasul saw menjawab syairku dg doa : wahai Allah bantulah ia dengan ruhulqudus?, maka Abu Hurairah ra berkata : betul (shahih Bukhari hadits no.3040, Shahih Muslim hadits no.2485)

Ini menunjukkan bahwa pembacaan Syair di masjid tidak semuanya haram, sebagaimana beberapa hadits shahih yg menjelaskan larangan syair di masjid, namun jelaslah bahwa yg dilarang adalah syair syair yg membawa pada Ghaflah, pada keduniawian, namun syair syair yg memuji Allah dan Rasul Nya maka hal itu diperbolehkan oleh Rasul saw bahkan dipuji dan didoakan oleh beliau saw sebagaimana riwayat diatas, dan masih banyak riwayat lain sebagaimana dijelaskan bahwa Rasul saw mendirikan mimbar khusus untuk hassan bin tsabit di masjid agar ia berdiri untuk melantunkan syair syairnya (Mustadrak ala shahihain hadits no.6058, sunan Attirmidzi hadits no.2846) oleh Aisyah ra bahwa ketika ada beberapa sahabat yg mengecam Hassan bin Tsabit ra maka Aisyah ra berkata : Jangan kalian caci hassan, sungguh ia itu selalu membanggakan Rasulullah saw(Musnad Abu Ya’la Juz 8 hal 337).

Pendapat Para Imam dan Muhaddits atas perayaan Maulid
sebelumnya perlu saya jelaskan bahwa yg dimaksud Al Hafidh adalah mereka yg telah hafal lebih dari 100.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya, dan yg disebut Hujjatul Islam adalah yg telah hafal 300.000 hadits dengan sanad dan hukum matannya.

1. Berkata Imam Al Hafidh Ibn Hajar Al Asqalaniy rahimahullah :
Telah jelas dan kuat riwayat yg sampai padaku dari shahihain bahwa Nabi saw datang ke Madinah dan bertemu dengan Yahudi yg berpuasa hari asyura (10 Muharram), maka Rasul saw bertanya maka mereka berkata : hari ini hari ditenggelamkannya Firaun dan Allah menyelamatkan Musa, maka kami berpuasa sebagai tanda syukur pada Allah swt, maka bersabda Rasul saw : kita lebih berhak atas Musa as dari kalian, maka diambillah darinya perbuatan bersyukur atas anugerah yg diberikan pada suatu hari tertentu setiap tahunnya, dan syukur kepada Allah bisa didapatkan dg pelbagai cara, seperti sujud syukur, puasa, shadaqah, membaca Alquran, maka nikmat apalagi yg melebihi kebangkitan Nabi ini?, telah berfirman Allah swt SUNGGUH ALLAH TELAH MEMBERIKAN ANUGERAH PADA ORANG ORANG MUKMININ KETIKA DIBANGKITKANNYA RASUL DARI MEREKA (QS Al Imran 164)

2. Pendapat Imam Al Hafidh Jalaluddin Assuyuthi rahimahullah :
Telah jelas padaku bahwa telah muncul riwayat Baihaqi bahwa Rasul saw ber akikah untuk dirinya setelah beliau saw menjadi Nabi (Ahaditsulmukhtarah hadis no.1832 dg sanad shahih dan Sunan Imam Baihaqi Alkubra Juz 9 hal.300), dan telah diriwayatkan bahwa telah ber Akikah untuknya kakeknya Abdulmuttalib saat usia beliau saw 7 tahun, dan akikah tak mungkin diperbuat dua kali, maka jelaslah bahwa akikah beliau saw yg kedua atas dirinya adalah sebagai tanda syukur beliau saw kepada Allah swt yg telah membangkitkan beliau saw sebagai Rahmatan lil’aalamiin dan membawa Syariah utk ummatnya, maka sebaiknya bagi kita juga untuk menunjukkan tasyakkuran dengan Maulid beliau saw dengan mengumpulkan teman teman dan saudara saudara, menjamu dg makanan makanan dan yg serupa itu untuk mendekatkan diri kepada Allah dan kebahagiaan. bahkan Imam Assuyuthiy mengarang sebuah buku khusus mengenai perayaan maulid dengan nama : Husnulmaqshad fii amalilmaulid.

3. Pendapat Imam Al hafidh Abu Syaamah rahimahullah (Guru imam Nawawi) :
Merupakan Bid’ah hasanah yg mulia dizaman kita ini adalah perbuatan yg diperbuat setiap tahunnya di hari kelahiran Rasul saw dengan banyak bersedekah, dan kegembiraan, menjamu para fuqara, seraya menjadikan hal itu memuliakan Rasul saw dan membangkitkan rasa cinta pada beliau saw, dan bersyukur kepada Allah dg kelahiran Nabi saw.

4. Pendapat Imamul Qurra Alhafidh Syamsuddin Aljazriy rahimahullah dalam kitabnya Urif bittarif Maulidissyariif :
Telah diriwayatkan Abu Lahab diperlihatkan dalam mimpi dan ditanya apa keadaanmu?, ia menjawab : di neraka, tapi aku mendapat keringanan setiap malam senin, itu semua sebab aku membebaskan budakku Tsuwaibah demi kegembiraanku atas kelahiran Nabi (saw) dan karena Tsuwaibah menyusuinya (saw) (shahih Bukhari). maka apabila Abu Lahab Kafir yg Alquran turun mengatakannya di neraka mendapat keringanan sebab ia gembira dengan kelahiran Nabi saw, maka bagaimana dg muslim ummat Muhammad saw yg gembira atas kelahiran Nabi saw?, maka demi usiaku, sungguh balasan dari Tuhan Yang Maha Pemurah sungguh sungguh ia akan dimasukkan ke sorga kenikmatan Nya dengan sebab anugerah Nya.

5. Pendapat Imam Al Hafidh Syamsuddin bin Nashiruddin Addimasyqiy dalam kitabnya Mauridusshaadiy fii maulidil Haadiy :
Serupa dg ucapan Imamul Qurra Alhafidh Syamsuddin Aljuzri, yaitu menukil hadits Abu Lahab

6. Pendapat Imam Al Hafidh Assakhawiy dalam kitab Sirah Al Halabiyah
berkata tidak dilaksanakan maulid oleh salaf hingga abad ke tiga, tapi dilaksanakan setelahnya, dan tetap melaksanakannya umat islam di seluruh pelosok dunia dan bersedekah pd malamnya dg berbagai macam sedekah dan memperhatikan pembacaan maulid, dan berlimpah terhadap mereka keberkahan yg sangat besar.

7. Imam Al hafidh Ibn Abidin rahimahullah
dalam syarahnya maulid ibn hajar berkata : ketahuilah salah satu bid’ah hasanah adalah pelaksanaan maulid di bulan kelahiran nabi saw

8. Imam Al Hafidh Ibnul Jauzi rahimahullah
dengan karangan maulidnya yg terkenal al aruus juga beliau berkata tentang pembacaan maulid, Sesungguhnya membawa keselamatan tahun itu, dan berita gembira dg tercapai semua maksud dan keinginan bagi siapa yg membacanya serta merayakannya.

9. Imam Al Hafidh Al Qasthalaniy rahimahullah
dalam kitabnya Al Mawahibulladunniyyah juz 1 hal 148 cetakan al maktab al islami berkata: Maka Allah akan menurukan rahmat Nya kpd orang yg menjadikan hari kelahiran Nabi saw sebagai hari besar.

10. Imam Al hafidh Al Muhaddis Abulkhattab Umar bin Ali bin Muhammad yg terkenal dg Ibn Dihyah alkalbi
dg karangan maulidnya yg bernama Attanwir fi maulid basyir an nadzir

11. Imam Al Hafidh Al Muhaddits Syamsuddin Muhammad bin Abdullah Aljuzri
dg maulidnya urfu at tarif bi maulid assyarif

12. Imam al Hafidh Ibn Katsir
yg karangan kitab maulidnya dikenal dg nama : maulid ibn katsir

13. Imam Al Hafidh Al Iraqy
dg maulidnya maurid al hana fi maulid assana

14. Imam Al Hafidh Nasruddin Addimasyqiy
telah mengarang beberapa maulid : Jaami al astar fi maulid nabi al mukhtar 3 jilid, Al lafad arraiq fi maulid khair al khalaiq, Maurud asshadi fi maulid al hadi.

15. Imam assyakhawiy
dg maulidnya al fajr al ulwi fi maulid an nabawi

16. Al allamah al faqih Ali zainal Abidin As syamhudi
dg maulidnya al mawarid al haniah fi maulid khairil bariyyah

17. Al Imam Hafidz Wajihuddin Abdurrahman bin Ali bin Muhammad As syaibaniy yg terkenal dg ibn diba
dg maulidnya addibai

18. Imam ibn hajar al haitsami
dg maulidnya itmam annimah alal alam bi maulid syayidi waladu adam

19. Imam Ibrahim Baajuri
mengarang hasiah atas maulid ibn hajar dg nama tuhfa al basyar ala maulid ibn hajar

20. Al Allamah Ali Al Qari
dg maulidnya maurud arrowi fi maulid nabawi

21. Al Allamah al Muhaddits Jafar bin Hasan Al barzanji
dg maulidnya yg terkenal maulid barzanji

23. Al Imam Al Muhaddis Muhammad bin Jakfar al Kattani
dg maulid Al yaman wal isad bi maulid khair al ibad

24. Al Allamah Syeikh Yusuf bin ismail An Nabhaniy
dg maulid jawahir an nadmu al badi fi maulid as syafi

25. Imam Ibrahim Assyaibaniy
dg maulid al maulid mustofa adnaani

26. Imam Abdulghaniy Annanablisiy
dg maulid Al Alam Al Ahmadi fi maulid muhammadi

27. Syihabuddin Al Halwani
dg maulid fath al latif fi syarah maulid assyarif

28. Imam Ahmad bin Muhammad Addimyati
dg maulid Al Kaukab al azhar alal iqdu al jauhar fi maulid nadi al azhar

29. Asyeikh Ali Attanthowiy
dg maulid nur as shofa fi maulid al mustofa

30. As syeikh Muhammad Al maghribi
dg maulid at tajaliat al khifiah fi maulid khoir al bariah.

Tiada satupun para Muhadditsin dan para Imam yg menentang dan melarang hal ini, mengenai beberapa pernyataan pada Imam dan Muhadditsin yg menentang maulid sebagaimana disampaikan oleh kalangan anti maulid, maka mereka ternyata hanya menggunting dan memotong ucapan para Imam itu, dengan kelicikan yg jelas jelas meniru kelicikan para misionaris dalam menghancurkan Islam.

Berdiri saat Mahal Qiyam dalam pembacaan Maulid
Mengenai berdiri saat maulid ini, merupakan Qiyas dari kerinduan pada Rasul saw, dan menunjukkan semangat atas kedatangan sang pembawa risalah pada kehidupan kita, hal ini lumrah saja, sebagaimana penghormatan yg dianjurkan oleh Rasul saw adalah berdiri, sebagaimana diriwayatkan ketika saad bin Muadz ra datang maka Rasul saw berkata kepada kaum anshar : Berdirilah untuk tuan kalian (shahih Bukhari hadits no.2878, Shahih Muslim hadits no.1768), demikian pula berdirinya Thalhah ra untuk Kaab bin Malik ra.

Memang mengenai berdiri penghormatan ini ada ikhtilaf ulama, sebagaimana yg dijelaskan bahwa berkata Imam Alkhattabiy bahwa berdirinya bawahan untuk majikannya, juga berdirinya murid untuk kedatangan gurunya, dan berdiri untuk kedatangan Imam yg adil dan yg semacamnya merupakan hal yg baik, dan berkata Imam Bukhari bahwa yg dilarang adalah berdiri untuk pemimpin yg duduk, dan Imam Nawawi yg berpendapat bila berdiri untuk penghargaan maka taka apa, sebagaimana Nabi saw berdiri untuk kedatangan putrinya Fathimah ra saat ia datang, namun adapula pendapat lain yg melarang berdiri untuk penghormatan.(Rujuk Fathul Baari Almasyhur Juz 11 dan Syarh Imam Nawawi ala shahih muslim juz 12 hal 93)

Namun sehebat apapun pendapat para Imam yg melarang berdiri untuk menghormati orang lain, bisa dipastikan mereka akan berdiri bila Rasulullah saw datang pada mereka, mustahil seorang muslim beriman bila sedang duduk lalu tiba tiba Rasulullah saw datang padanya dan ia tetap duduk dg santai..

Namun dari semua pendapat itu, tentulah berdiri saat mahal qiyam dalam membaca maulid itu tak ada hubungan apa apa dengan semua perselisihan itu, karena Rasul saw tidak dhohir dalam pembacaan maulid itu, lepas dari anggapan ruh Rasul saw hadir saat pembacaan maulid, itu bukan pembahasan kita, masalah seperti itu adalah masalah ghaib yg tak bisa disyarahkan dengan hukum dhohir,
semua ucapan diatas adalah perbedaan pendapat mengenai berdiri penghormatan yg Rasul saw pernah melarang agar sahabat tak berdiri untuk memuliakan beliau saw.

Jauh berbeda bila kita yg berdiri penghormatan mengingat jasa beliau saw, tak terikat dengan beliau hadir atau tidak, bahwa berdiri kita adalah bentuk kerinduan kita pada nabi saw, sebagaimana kita bersalam pada Nabi saw setiap kita shalat pun kita tak melihat beliau saw.

Diriwayatkan bahwa Imam Al hafidh Taqiyuddin Assubkiy rahimahullah, seorang Imam Besar dan terkemuka dizamannya bahwa ia berkumpul bersama para Muhaddits dan Imam Imam besar dizamannya dalam perkumpulan yg padanya dibacakan puji pujian untuk nabi saw, lalu diantara syair syair itu merekapun seraya berdiri termasuk Imam Assubkiy dan seluruh Imam imam yg hadir bersamanya, dan didapatkan kesejukan yg luhur dan cukuplah perbuatan mereka itu sebagai panutan,
dan berkata Imam Ibn Hajar Alhaitsamiy rahimahullah bahwa Bidah hasanah sudah menjadi kesepakatan para imam bahwa itu merupakan hal yg sunnah, (berlandaskan hadist shahih muslim no.1017 yg terncantum pd Bab Bidah) yaitu bila dilakukan mendapat pahala dan bila ditinggalkan tidak mendapat dosa, dan mengadakan maulid itu adalah salah satu Bidah hasanah,

Dan berkata pula Imam Assakhawiy rahimahullah bahwa mulai abad ketiga hijriyah mulailah hal ini dirayakan dengan banyak sedekah dan perayaan agung ini diseluruh dunia dan membawa keberkahan bagi mereka yg mengadakannya. (Sirah Al Halabiyah Juz 1 hal 137)

Pada hakekatnya, perayaan maulid ini bertujuan mengumpulkan muslimin untuk Medan Tablig dan bersilaturahmi sekaligus mendengarkan ceramah islami yg diselingi bershalawat dan salam pada Rasul saw, dan puji pujian pada Allah dan Rasul saw yg sudah diperbolehkan oleh Rasul saw, dan untuk mengembalikan kecintaan mereka pada Rasul saw, maka semua maksud ini tujuannya adalah kebangkitan risalah pada ummat yg dalam ghaflah, maka Imam dan Fuqaha manapun tak akan ada yg mengingkarinya karena jelas jelas merupakan salah satu cara membangkitkan keimanan muslimin, hal semacam ini tak pantas dimungkiri oleh setiap muslimin aqlan wa syarâan (secara logika dan hukum syariah), karena hal ini merupakan hal yg mustahab (yg dicintai), sebagaiman kaidah syariah bahwa Maa Yatimmul waajib illa bihi fahuwa wajib, semua yg menjadi penyebab kewajiban dengannya maka hukumnya wajib.

contohnya saja bila sebagaimana kita ketahui bahwa menutup aurat dalam shalat hukumnya wajib, dan membeli baju hukumnya mubah, namun suatu waktu saat kita akan melakukan shalat kebetulan kita tak punya baju penutup aurat kecuali harus membeli dulu, maka membeli baju hukumnya berubah menjadi wajib, karena perlu dipakai untuk melaksanakan shalat yg wajib .

contoh lain misalnya sunnah menggunakan siwak, dan membuat kantong baju hukumnya mubah saja, lalu saat akan bepergian kita akan membawa siwak dan baju kita tak berkantong, maka perlulah bagi kita membuat kantong baju untuk menaruh siwak, maka membuat kantong baju di pakaian kita menjadi sunnah hukumnya, karena diperlukan untuk menaruh siwak yg hukumnya sunnah.

Maka perayaan Maulid Nabi saw diadakan untuk Medan Tablig dan Dakwah, dan dakwah merupakan hal yg wajib pada suatu kaum bila dalam kemungkaran, dan ummat sudah tak perduli dg Nabinya saw, tak pula perduli apalagi mencintai sang Nabi saw dan rindu pada sunnah beliau saw, dan untuk mencapai tablig ini adalah dengan perayaan Maulid Nabi saw, maka perayaan maulid ini menjadi wajib, karena menjadi perantara Tablig dan Dakwah serta pengenalan sejarah sang Nabi saw serta silaturahmi.

Sebagaimana penulisan Alquran yg merupakan hal yg tak perlu dizaman nabi saw, namun menjadi sunnah hukumnya di masa para sahabat karena sahabat mulai banyak yg membutuhkan penjelasan Alquran, dan menjadi wajib hukumnya setelah banyaknya para sahabat yg wafat, karena ditakutkan sirnanya Alquran dari ummat, walaupun Allah telah menjelaskan bahwa Alqur’an telah dijaga oleh Allah.

Hal semacam in telah difahami dan dijelaskan oleh para khulafaurrasyidin, sahabat radhiyallahuanhum, Imam dan Muhadditsin, para ulama, fuqaha dan bahkan orang muslimin yg awam, namun hanya sebagian saudara saudara kita muslimin yg masih bersikeras untuk menentangnya, semoga Allah memberi mereka keluasan hati dan kejernihan, amiin.

Adab - Adab Menghadiri Maulid Nabi SAW dan Bersalawat

Adab Para Salaf shalihin, sebelum hadir ke tempat acara “Maulid”, beliau ra biasanya tertibnya, mengambil wudhu dengan baik dan sempurna, dalam masih keadaan basah air wudhu, lalu membaca “Shalallahu ‘alaa Muhammad” 33x tanpa diselingi berbicara dengan yang lain. Lalu diusap kewajahnya, lalu membaca doa sehabis wudhu. Kemudian shalat sunnah 2 rakaat, niat shalat sunnah syukur Wudhu, rakaat pertama Al-Kafirun, setelah Al-Fatihah, lalu rakaat kedua al-ikhlas. setelah salam membaca subhanallah, Alhamdulillah Allahu Akbar masing-masing tiga (3) kali.

Lalu boleh ditambahkan shalat sunnah hajat 2 rakaat. Pada rakaat pertama Al-Kafirun dibaca (3) tiga kali, setelah Al-Fatihah, lalu rakaat kedua setelah Al-Fatihah membaca S.al-ikhlas (3). setelah salam membaca istighfar 21 kali lalu shalawat 3x, lalu berdoa membaca niat untuk hadir maulud, contoh doa niat sbb :

Allahumma Ya Allah, kami niat untuk hadir Maulud NabiMU SAW, dengan niat agar mendapat ridha Allah & Rasulullah SAW serta Syafaat Rasulullah didalam agama, dunia dan akhirat, serta dengan niat agar Allah memberikan semua hajat (kebutuhan) kami, mengabulkan doa-doa kami, melapangkan kesulitan kami, memudahkan semua urusan kami dan urusan kaum muslimin di dalam hal agama, dunia dan akhirat

Hal itu semua diatas, seyogyanya dilakukan mulai berwudhu hingga shalat sunnah wudhu sampai shalat sunnah hajat, dilakukan tanpa diselingi perbuatan dan pembicaraan yang tidak berarti, serta dilakukan dengan tertib pelaksanaannya berkesinambungan. Jika waktu tidak memungkinkan paling tidak shalat sunnah wudhu diutamakan.

Setelah melakukan amal sholeh diatas barulah para salaf shalihin, beliau2 ra berjalan menghadiri Maulud Nabi SAW, dengan bertawakal Kepada ALLAH SWT, sangat mengharapkan limpahan Barakah , rahmat dan maghfirah tercurahkan kepadanya. Dengan berjalan penuh rasa tawadhu dan tadharu’ (menghadirkan perasaan khusu’,seakan-akan akan menemui Baginda Nabi SAW bersama para Sahabat-nya, dan para Awliya-NYA, yangdisaksikan oleh Allah Jalla Jallaaluh ta’ala serta para malaikat).

Menanamkan adab batin ini sungguh sangat paling afdhol didalam menghadiri maulud, karena Allah melihat dan menyaksikan hati para hamba-NYA. Firman-NYA,” Allah sesuai dengan prasangka hamba-Nya”. Biasanya para salaf shalihin memperbanyak membaca shalawat kepada Baginda Nabi Rasulullah SAW, dalam perjalanannya, ketika dan selama Maulud Nabi SAW berlangsung, baik dibaca secara sirr (rahasia-dalam hati) atau jahar (di-lafadz-kan, dibaca dengan lisan).

Momentum yang paling baik dan barakah dalam pembacaanMaulud Nabi SAW adalah pada saat Mahalul Qiyam berdiri ketika membaca “Yaa Nabii Salaaam Alayka Yaa Rasulsallaam ‘Alayka“. Diantara bait2 tersebut maka adalah momentum yang terbaik kita berdoa memohon kepada ALLAHSWT, segala doa dan hajat, kita diselingi dengan membaca shalawat “Yaa Nabii SAlaaam ‘Alayka Yaa Rasulsallaam ‘Alayka“, bersama-sama. Jadi diantara bait-bait, tersebut, seyogyanya kita berdoa. InsyaAllah Mustajabah.

Lalu tidak kalah pentingnya, adalah menghadirkan orang-orang yang kita cintai-sanak keluarga, sahabat dan kerabat yang kita kehendaki ketika itu. Hadirkan dengan perasaan kita, bahwa mereka ikut hadir (bil ghoib) dalam pelaksanaan maulud. Yang Insya Allah,Rahmat, Barakah dan SyafaatNYA akan meliputi kepada mereka semua, yang secara lahiriah tidak hadir.

Itulah salah satu Kebesaran-NYA dan Kasih Sayang-NYA kepada umat Baginda Nabi SAW yang merupakantetesan-tetesan air Ar-Rahmah dari Samudera RahmatIllahi.

Didalam pelaksanaan pembacaan Maulud, seyogyanya kita mempertautkan hati kita dengan Baginda Nabi SAW, bagi yang pernah berziarah ke makam Beliau SAW di Madinahal-Munawarah, mungkin bisa kembali mengingat2nya. seakan-akan membaca maulud risalah Baginda nabi SAW didepan di hadapan makam beliau yang mulia SAW Insya Allah. Bagi yang belum rejeki, maka dapat cukupmembayangkan kehadirannya SAW, paling tidak merasa
dilihat dan didengar. Sehingga nilai-kualitas dariMaulud Insya Allah dapat dirasakan cukup kemanfaatan nya, bukan hanya sekedar hadir duduk, doa, amin, makanlalu bubar, sedangkan hati sanubari masih tetap kotor penuh karatnya penyakit2 lahiriah dan batiniah.

Maulud adalah salah satu ajang yang sangat sacral untuk mengembalikan jati diri kita sebagai hamba ALLAH dan sebagai umat pengikut Baginda Nabi SAW. Oleh karenanya seyogyanya kita bisa memperhatikan dengan seksama arti-makna-terjemahan dari bacaan maulud yang dibaca, hal ini sungguh sangat bermanfaat, guna meningkatkan kualitas hati kita menuju derajat ihsan disisi Allah dan RasulNYA. Inilah salah satu sirr - rahasia dari pelaksanaan Maulid Nabi SAW. Sehingga ketika kembali dari hadir maulud itu, hati semakin bercahayanya, Insya Allah, hati sanubari kita ke seluruh relung anggota tubuh kita, mengikis habis segala karat penyakit-penyakit baik lahir dan batin. Dan semakin bertambah keimanan dan kecintaan kita kepada Allah dan RasulNYA.

Maulud Nabi SAW, yang kami kutip dari kitab, An-NurAl-Mubin fii Mahabbati Sayyil Mursalin, oleh Guru besar kita Sang Waliyullah Hadhratusy Syaikh KH.Muhamad Hasyim Asy’ari Asy-Syadzili Al-Qadiriah wanNaqshbandiyah, mercu suar pendiri Nahdlatul Ulama,Ahlus Sunnah wal jama’ah.

Beliau termasuk salah satu seorang Imam Muhadist terkemuka yang menjadi rawi ke-24 dari rantai silsilahhadis Shahih Bukhari-Muslim. Dari gurunya SyaikhMahmud at-Termas, guru besar Masjidil Haram bermadzhabSyafi’i. Yang kami kutib dari beliau, berkat barakah dan karamahnya serta madad sirr dari para gurru-guruspiritual kami, Insya Allah kami cukupkan untuk mengutip Ayat-Ayat Al-Qur’an dan Hadist yang Shahih yang disepakati oleh para Imam Muhadist, jadikami tidak mengambil hadist yang hanya 2-3 riwayat Imam Hadist, tetapi mengambil yang Mutafaq Alaih, disepakati oleh lebih dari 3 Imam Muhadist, demi InsyaAllah menambahkan nur keimanan dan keyakinan kita.
Allahumma Amin.

29 Jan 2010

Bagaimana Ulama Mensikapi Khilaf Fiqih?

Para ulama menyatakan agar masalah khilafiyah disikapi dengan bijak, dan tidak diperlakukan sebagai hal yang harus diingkari,sehingga perpecahan bisa dihindari
HidayatuDar Ifta’ Al Mishriyahllah.com-Di kalangan awam, seringkali masalah khilaf fiqih menjadi pemicu pembid’ahan atau hajr (pemutusan hubungan). Bahkan tak jarang, mereka menilai permasalahan khilaf (masalah yang diperselisihkan hukumnya oleh para ulama mu’tabar) sebagai masalah kemungkaran, yang harus ditentang dengan keras, sebagaimana menghadapi masalah-masalah yang telah disepakati keharamanya oleh para ulama.

Dengan sikap demikian, tak jarang timbul perpecahan dan sikap saling membenci antara pengikut madzhab-madzhab fiqih yang ada, hingga terjadilah bentrok fisik antar mereka.

Tentu, hal inilah yang tidak diinginkan para ulama, hingga mereka memberi nasehat kepada umat, bagaimana seharusnya menyikapi khilaf fiqih. Berikut adalah petikan perkataan beberapa ulama mengenai penilaian mereka tentang perbedaan masalah fiqih.

Al Hafidz Imam As Suyuthi (911H),”Telah terjadi khilaf masalah furu’ sejak zaman sahabat-radhiyallahum wa ardhahum-, dan mereka adalah sebaik-baik umat, begitu pula dengan para imam tabi’in setelah mereka beserta para ulama, salah seoarang dari mereka tidak memusuhi yang lainnya, tidak menyakiti dan salah satu dari mereka tidak menuding yang lainnya salah atau tidak mampu.”

Di tempat lain beliau mengatakan,”Ketahuilah bahwa khilaf madzhab-madzhab dalam satu millah merupakan nikmat yang besar dan kelebihan yang besar, serta memiliki rahasia yang lembut yang diketahui oleh mereka yang alim akan tetapi mereka yang jahil buta terhadapnya. Sehingga saya mendengar sebagian orang bodoh mengatakan, bahwa Nabi shallallahu alaihi wasallam datang dengan syariat yang satu, jika demikian, darimana datangnya madzhab empat?”

Lalu beliau mengatakan,”Dan hal yang tidak kalah mengherankan adalah melebihkan satu madzhab dari madzhab yang lain, pelebihan ini menyebabkan perendahan terhadap madzhab lain, dan bisa jadi itu menyebabkan timbulnya permusuhan antar orang-orang bodoh, dan terciptalah ashabiyah yang didasari kebodohan. Adapun para ulama, mereka terhindar dari itu semua.” (lihat, Jazil Al Mawahib fi Ikhtilaf Al Madzahib, manuskrip di perpustakaan Al Azhar).

Ibnu Qudamah (620 H),” Seungguhnya Allah dengan rahmat-Nya, kebesaran-Nya, ketinggian-Nya, kekuatan-Nya serta daya-Nya telah menanggung, bahwa ada sekelompok dari umat ini yang selalu berada dalam al haq (kebenaran), tidak akan membahayakan mereka, siapa saja yang mencela, hingga datang keputusan Allah dan mereka tatap berada dalam kondisi demikian. Yang menyebabkan kelanggengan mereka adalah keberadaan para ulama mereka dan mereka menjadikan para imam dan fuqaha itu sebagai suri tauladan. Allah menjadikan umat ini dengan para ulamanya, seperti umat yang tidak memiliki rasul dan Ia tampakkan di setiap thabaqat dari para fuqaha’ imam-imam yang dijadikan suri tauladan dan semua pendapat merujuk kepadanya. Dan Allah telah menjadikan para salaf dari umat ini sebagai para imam, yang diambil dari mereka kaidah-kaidah keislaman dan dengan mereka permasalahan bisa tercerahkan. Kesepakatan mereka adalah hujjah qath’i, sedangkan perselisihan di antar mereka adalah rahmat yang luas”. (lihat, muqadimah Al Mughni).

Al Hafidz Imam Ad Dzahabi (748H),” Kalau sendainya di saat para Imam terjatuh kepada kesalahan yang dimaafkan dalam ijtihad mereka dan kam bangkit melawan, membid’ahkan atau memutuskan hubungan, maka tidak akan bisa terhindar dari hal itu Ibnu Nashir, Ibnu Mandah atau para Imam yang berada di atas mereka, Allah Maha Memberi Petunjuk hambanya kepada kebenaran, dan Dia Maha Pengasih dari mereka yang mengasihi, dan kami berlindung kepada Allah dari hawa nafsu.” (lihat, Siyar Al A’lam An Nubala, 14/40).

Ibnu Taimiyah (728 H) menukil dari Imam Ahmad bahwa seseorang telah menulis sebuah buku tentang masalah khilaf, maka Imam Ahmad mengatakan,”Jangan dinamai dengan kitab ikhtilaf, akan tetapi namai dengan kitab as sa’ah (kelonggaran).” (lihat, Majmu’ Al Fatawa, 14/95)

Bahkan para salaf rela meninggalkan madzhabnya dalam masalah-masalah mustahab jika dengan demikian ukhuwwah bisa terjaga. Dalam Majmu’ Fatawa, ketik berbicara masalah basmalah, Ibnu Taimiyah ditanya, apakah ia ayat di setiap surat dan apakah sebagian umat Islam perlu dihajr karena masalah ini? Setelah menjelaskan panedapat para ulama tentang masalah ini, beliau mengatakan, ”Mustahab bagi siap saja untuk membangun hubungan baik dengan saudaranya, dengan meninggalkan amalan-amalan mustahab itu. Karena maslahat membangun hubungan hati dalam agama lebih besar daripada maslahat melakukan amalan-malan seperti ini.”

Ingkar terhadap Masalah Khilaf adalah Sebuah Kesalahan
Para ulama membuat kaidah, la yungkaru fi ma ikhtalafa alaihi wa inama yungkaru fi ma ajma’a alaihi, yang artinya, tidak diingkari perkara yang masih diperselisihkan, pengingkaran untuk perkara yang sudah disepakati (keharamannya). Imam As Suyuthi menjelaskan bahwa pengingkaran yang dimaksud di kaidah ini adalah penentangan dengan keras. Karena, jika masing-masing madzhab mengingkari madzhab lain, maka bisa timbul mudharat yang besar, seperti peperangan atau kekacauan. (lihat, Al Ashbah wa An Nadzair, hal.158)

Kedudukan Pendapat Ulama
Pendapat para ulama memiliki bobot tersendiri, hingga pendapat mereka tidak boleh diingkari. Para ulama ushul fiqih menilai bahwa perkataan para ulama di hadapan para muqallid atau mereka yang tidak mampu berijtihad, bagaikan nash di hadapan para mujtahid. Bukan menyamakan antara nash dengan perkataan ulama, hingga pendapat mereka dianggap sebagai sumber syariat. Pendapat mereka diperhitungkan karena mereka memiliki kapasitas untuk menyimpulkan hukum dari nash-nash, merekapun melakukan hal itu dengan penuh kesungguhan, mereka juga banyak menghafal dan memahami nash-nash agama apalagi kondisi ruhiyah mereka yang selalu dijaga dengan baik. (lihat, Bulugh As Sul fi Al Madkhal ila Ilmi Al Ushul, hal.15)

Walhasil, dari pernyataan beberapa ulama di atas, hendaknya umat Islam tidak mengingkari masalah-masalah yang sudah dikenal sebagai masalah khilaf, dengan demikian ukhuwwah umat Islam terjaga dengan baik. Wallahu’alam bi as shawab.

Hukum ASI yang Tertelan Suami

Benarkah asi istri kita haram hukumnya?

Memang terkadang muncul keraguan di sebagian suami tentang air susu istri yang tertelan suami saat berhubungan, apakah ia sama hukumnya dengan air susu ibu yang diminum oleh seorang anak susuannya?!
Sesungguhnya persyaratan susuan yang menjadikannya orang yang menyusu itu anak dari ibu susuannya adalah sebagai berikut :
1. Susuan tersebut terjadi pada usia-usia di antara dua tahun pertama dari usia anak yang menyusu darinya. Dan jika seandainya usia yang menyusu itu di atas dua tahun maka tidaklah menjadikannya haram untuk dinikahi, ini adalah pendapat jumhur ulama berdasarkan sabda Rasulullah saw, ”Tidak ada rodho’ (susuan) kecuali diantara usia dua tahun.” (HR. Daruquthni dari Ibnu Abbas).
Imam Malik menambahkan dari masa dua tahun itu dengan dua bulan dikarenakan masa dua bulan ini dibutuhkan bagi anak itu sebagai masa transisinya dari mengkonsumsi susu kepada makanan lain. Hal itu apabila anak itu tidak disapih sebelum masa dua tahun sedangkan apabila ia sudah disapih dan makan makanan kemudian menyusu maka susuannya itu tidak menjadikannya sebagai mahram.
Imam Abu Hanifah menentukan masa susuan itu adalah dua tahun setengah. Setengah tahun itu adalah masa transisi bagi anak itu untuk berpindah dari mengkonsumsi susu kepada makanan yang lainnya.
2. Hendaklah anak itu menyusu sebanyak lima susuan secara terpisah sebagaimana kebiasaan, dimana anak itu meninggalkan puting susunya dengan kehendaknya tanpa adanya halangan seperti bernafas, istirahat sejenak atau sesuatu yang terjadi secara tiba-tiba sehingga menjadikannya lupa dari menyusu. Dalam hal ini tidak pula disyaratkan hisapan-hisapan tersebut harus mengenyangkannya, demikian pendapat para ulama madzhab Syafi’i serta pendapat yang paling kuat dari para ulama madzhab Hambali.
Terhadap orang dewasa yang sudah baligh dan berakal yang menyusu kepada seorang wanita maka jumhur ulama dari kalangan sahabat, tabi’in dan para fuqoha mengatakan bahwa tidak ada susuan yang menjadikannya mahram kecuali apabila terjadi pada saat ia masih kecil, meskipun terjadi perselisihan dalam penentuan batas usia anak kecil tersebut.
Diantara dalil-dalil yang dipakai jumhur adalah :
وَالْوَالِدَاتُ يُرْضِعْنَ أَوْلاَدَهُنَّ حَوْلَيْنِ كَامِلَيْنِ لِمَنْ أَرَادَ أَن يُتِمَّ الرَّضَاعَةَ

Artinya : “.....Selama dua tahun penuh, Yaitu bagi yang ingin menyempurnakan penyusuan.” (QS. Al Baqoroh : 233)

Sabda Rasulullah saw, ”Sesungguhnya susuan itu hanyalah yang mengenyangkannya dari rasa lapar.” (HR. Bukhori Muslim) artinya susu yang diminumnya itu mengenyangkannya dan ia tidak memiliki makanan selainnya. Tentunya orang yang sudah dewasa tidaklah termasuk didalamnya terlebih lagi hadits ini menggunakan kata-kata hanyalah. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz IX hal 6637 – 6638)
Dengan demikian air susu istri yang tertelan oleh suaminya saat berhubungan tidaklah menjadikannya haram untuk berhubungan dengannya, tidak pula menjadikannya sebagai anak dari istrinya itu serta tidak pula berpengaruh apa-apa terhadap pernikahan mereka.
Pada masa-masa haidh dan nifas pun hal itu tetap diperbolehkan bagi kedua pasangan tersebut, sebagaimana hadits yang diriwayatkan dari Haram bin Hakim dari pamannya bahwa dia bertanya kepada Rasulullah saw,”Apa saja yang dihalalkan bagiku terhadap istriku pada saat dia haidh?’ beliau saw menjawab,’Bagimu apa yang berada diatas sarung..” (HR. Abu Daud)
Hadits terebut memerintahkan bagi suami yang ingin menggauli istrinya pada saat haidh adalah pada bagian diatas pusar karena dikhawatirkan akan terjadi persetubuhan pada kemaluannya jika apa yang dibawah pusar juga diperbolehkan terutama bagi mereka yang tidak bisa mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Maka barangsiapa yang mengitari daerah larangan maka dikhawatirkan ia akan jatuh kedalamnya.” (HR. Bukhori Muslim)
Namun apabila dia mampu mengendalikan gejolak syahwat didalam dirinya dan meyakini apabila dia ‘bermain’ dengan yang dibawah pusar atau bahkan diantara dua paha serta tidak jijik dengan bercak-bercak darah yang mungkin terlihat disekitar kemaluan istrinya maka hal itu diperbolehkan selama tidak memasukkan kemaluannya kedalam kemaluan istrinya, sebagaimana hadits Rasulullah saw,”Pebuatlah sesuai kehendakmu kecuali nikah (memasukkan kemaluanmu kedalam kemaluan istrimu).” (Hr Muslim dan Abu Daud)
Menyentuh, mencium atau menyedot puting susu istrinya hingga menelan air susunya adalah bagian daripada ‘bermain-main’ didalam bersetubuh seperti halnya terhadap bagian-bagian tubuh lainnya yang dapat menambah kenikmatan bagi kedua pasangan itu sehingga tidaklah ada larangannya. Karena itu semua termasuk didalam batas-batas yang diperbolehkan selama tidak pada duburnya.
Dari Abu Yusuf berkata, ”Aku pernah bertanya kepada Abu Hanifah tentang seorang yang memegang kemaluan istrinya dan istrinya menyentuh kemaluan suaminya untuk bergerak-gerak diatas kemaluannya apakah menurutmu ini tidak boleh?
Abu Hanifah menjawab, ”Boleh, dan aku berharap hal itu dapat menambah pahala yang merupakan investasi baginya.” (Roddul Mukhtar juz 26 hal 388)
Wallahu A’lam

Tentang Tawassul dan Istighotsah

Bismillahirrahmanirrahim, Allohumma sholli ‘alaa sayyidinaa Muhammadin wa’alaa alihii washohbihii ajma’in, ‘amma ba’du
Dengan memohon Rahmat-Nya, Saya coba mengajak kepada semua saudara2 ku semua yang di Rahmati Allah SWT, untuk  mengkaji ilmu tentang  legalitas “Tawassul / Istighatsah” yang sesuai dengan ajaran syariat Islam agar kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek Tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang ke-jumud-an dalam menentukan obyek Tawassul / Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam.

Hakekat “Tawassul” merupakan hal yang telah menjadikan kejelasan dalam Islam. Al-Quran sebagai sumber utama agama Islam dalam sebuah ayatnya menyatakan: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan carilah jalan (wasilah) yang mendekatkan diri kepada-Nya, dan berjihadlah pada jalan-Nya, supaya kamu mendapat keberuntungan” (QS Al-Maidah: 35). Dalam ayat tadi Allah SWT menjelaskan bahwa ketakwaan dan jihad merupakan sarana legal untuk menyampaikan manusia kepada Allah SWT.

Yang menjadi pertanyaan adalah; adakah sarana-sarana lain yang legal menurut syariat Islam yang mampu menghantarkan manusia menuju Allah SWT, ataukah dalam penentuan sarana-sarana tadi telah sepenuhnya diserahkan kepada manusia?. Untuk menjawab secara ringkas maka dapat kita katakana bahwa; jelas sekali bahwa penentuan sarana pendekatan diri kepada Allah SWT tidak terdapat campur tangan manusia sehingga dengan ijtihad pribadinya dapat menentukan sarana-sarana apapun untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hanya sarana-sarana yang telah ditentukan oleh syariat Islam –yang bersumber dari al-Quran dan as-Sunnah as-Sohihah Rasulullah SAW- saja yang dapat menjadi penghantar manusia menuju Allah SWT. Sehingga dari sini dapat kita simpulkan bahwa, semua sarana yang tidak mendapat legalitas syariat –baik dengan dalil umum maupun khusus- maka tergolong bid’ah dan kesesatan yang nyata. Dalam kesempatan kali ini, kita akan memasuki kajian legalitas “Tawassul/Istighatsah” sesuai dengan ajaran syariat Islam, baik dari apa yang telah dijelaskan oleh al-Quran, Sunnah Rasulullah maupun prilaku para Salaf Saleh dan Ulama Salaf Ahlusunnah wal Jamaah. Sehingga kita tidak terjerumus dalam penentuan obyek tawassul/Istighatsah secara ‘liar’ sehingga menyebabkan kita terjerumus ke dalam jurang bid’ah dan kesesatan, seperti yang dapat kita temukan dalam masyarakat kejawen di Indonesia. Ataupun terjerumus ke dalam jurang kejumudan dalam menentukan obyek Tawassul/Istighatsah, sebagaimana yang dilakukan oleh kelompok sekte Wahabisme, imbas dari kerancuan metodologi memahami teks. Baik kelompok ‘Kejawen’ maupun ‘Wahabi’ keduanya telah terjerumus ke dalam jurang ekstrimitas (ekstrim kiri dan ekstrim kanan) yang mengakibatkan kerancuan dalam bersikap berkaitan dengan konsep Tawassul/Istighatsah. Tentu kedua bentuk ekstrimitas itu tidak sesuai dengan apa yang diinginkan oleh Islam.

Jika kita melihat beberapa kamus bahasa Arab yang sering dijadikan rujukan dalam menentukan asal dan makna kata maka akan kita dapati bahwa, kata “Tawassul” mempunyai arti dari ‘darajah’ (kedudukan), atau ‘Qurbah’ (kedekatan), atau ‘washlah’ (penyampai/penghubung). Sehingga sewaktu dikatakan bahwa ‘wasala fulan ilallah wasilatan idza ‘amala ‘amalan taqarraba bihi ilaihi’ berarti ‘seseorang telah menjadikan sarana penghubung kepada Allah melalui suatu pebuatan sewaktu melakukan pebuatan yang dapat mendekatkan diri kepada-Nya’. (Lihat: Kitab Lisan al-‘Arab karya Ibn Mandzur jilid 11 asal kata wa-sa-la). Begitu juga berkaitan dengan asal kata ‘ghatsa’ yang berarti ‘menolong’ yang dengan memakai bentuk (wazan) ‘istaf’ala’ yang kemudian menjadi ‘istighatsah’ yang berarti ‘mencari/meminta pertolongan’. Pengertian-pengertian semacam ini pun akan kita dapati dalam berbagai kamus-kamus bahasa Arab terkemuka lainnya.

Berkaitan dengan konsep Tawassul dan Istighatsah ini, terdapat perbedaan pendapat di kalangan beberapa kelompok. Letak perbedaannya dalam masalah penentuan obyek-obyek tawassul dan istighatsah yang dilegalkan oleh syariat Islam. Dikarenakan terjadi perbedaan pendapat dalam penentuan obyek maka terjadi ikhtilah juga dalam menghukuminya. Dari perbedaan hukum tadilah akhirnya muncul ‘penyesatan’ dari kelompok yang belum dewasa dalam menerima perbedaan, merasa benar sendiri, tidak menganggap pendapat kelompok lain, bahkan menganggap kelompok lain tadi telah berbuat yang dilarang oleh Islam, bid’ah atau syirik.

Di sini, kita akan mengkalasifikasikan pendapat-pendapat tersebut menjadi tiga bagian:

Pertama: Pendapat Sekte Wahabisme

Dalam hal ini, kita akan menukilkan pendapat Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi (pelopor dan pendiri sekte Wahabisme) yang dalam kita “Kasyfus Syubuhaat” menyatakan: “Jika ada sebagian orang musyrik (muslim non-Wahaby .red) mengatakan kepadamu; “Ingatlah, Sesungguhnya wali-wali Allah itu, tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak (pula) mereka bersedih hati (QS Yunus: 62)”, atau mengatakan bahwa syafa’at adalah benar, atau mengatakan bahwa para nabi memiliki edudukan di sisi Allah, atau mengungkapkan perkataan Nabi untuk berargumen menetapkan kebatilannya (seperti Syafa’at, Tawassul/Istighatsah, Tabarruk…dst. Red) sedang kalian tidak memahaminya (tidak bisa menjawabnya) maka katakanlah: Sesungguhnya Allah dalam al-Quran menjelaskan bahwa orang-orang yang menyimpang adalah orang yang meninggalkan ayat-ayat yang jelas (muhkam) dan mengikuti yang samar (mutasyabih)”. (Lihat: Kitab Kasyfus Syubuhaat halaman 60). Di sini jelas sekali bahwa Muhammad bin Abdul Wahhab menyatakan ‘sesat’ (bahkan menuduh musyrik) orang-orang yang meyakini adanya syafaat, kedudukan tinggi para nabi di sisi Allah sehingga dimintai istighatsah/tawassul…dst. Bahkan di sini, Muhammad bin Abdul Wahhab mengajarkan kepada para pengikutnya “trik melarikan diri” dari diskusi tentang doktrinan sektenya dengan kelompok lain dengan cara melarikannya kepada pembagian tasyabuh dan muhkam ayat-ayat al-Quran. Termasuk trik mengajak para pengkritisi ajaran Wahabisme untuk bertobat ‘tanpa terbukti’ kesalahannya. Ternyata, akhirnya ‘trik-trik licik’ ini pun yang sering dipakai banyak para pengikut sekte Wahaby ketika terpepet dalam berargumentasi ketika membela keyakinan wahabismenya, bahkan menjadi ‘kebiasaan buruk’ mayoritas para pengikut sekte tersebut.

Contoh lain. Nashiruddin al-Bani -yang konon- adalah seorang ahli hadis dari kalangan Wahaby pun pernah menyatakan dalam salah satu karyanya yang berjudul “at-Tawassul; Ahkaamuhu wa Anwa’uhu” (Tawassul; hukum-hukum dan jenis-jenisnya) begitu juga dalam mukaddimahnya atas kitab “Syarh at-Thawiyah” (Lihat: di halaman 60 dari kitab Syarh Thahawiyah) dia mentakan bahwa; “Sesungguhnya masalah tawassul bukanlah tergolong masalah akidah”.

Dan contoh lainnya adalah apa yang dinyatakan oleh Abdullah bin Baz seorang mufti Wahaby: “Barangsiapa yang meminta (istighatsah/tawassul) kepada Nabi dan meminta syafaat darinya maka ia telah merusak keislamannya” (Lihat: Kitab Al-‘Aqidah as-Shohihah wa Nawaqidh al-Islam).

Kedua: Pendapat Ahlusunnah wal Jamaah (bahkan Islam secara keseluruhan).
Terlampau banyak contoh fatwa ulama Ahlusunnah dalam menjelaskan legalitas Tawassul/Istighatsah ini. Insya-Allah pada kesempatan selanjutnya akan lebih kita perjelas mengenai ungkapan-ungkapan mereka. Namu di sini kita akan memberikan contoh beberapa tokoh dari mereka saja:
  1. Imam Ibn Idris as-Syafi’i sendiri permnah menyatakan: “Sesungguhnya aku telah bertabarruk dari Abu Hanifah (pendiri mazhab Hanafi .red) dan mendatangi kuburannya setiap hari. Jika aku memiliki hajat maka aku melakukan shalat dua rakaat dan lantas endatangi kuburannya dan meminta kepada Allah untuk mengabulkan doaku di sisi (kuburan)-nya. Maka tidak lama kemudian akan dikabulkan” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 123 dalam bab mengenai kuburan-kuburan yang berada di Baghdad)
  2. As-Samhudi yang bermazhab Syafi’i menyatakan; “Terkadang orang bertawassul kepadanya (Nabi SAW .red) dengan meminta pertolongan berkaitan suatu perkara. Hal itu memberikan arti bahwa Rasul memiliki kemampuan untuk memenuhi permintaan dan memberikan syafaatnya kepada Tuhannya. Maka hal itu kembali kepada permohonan doanya. Walaupun terdapat perbedaan dari segi pengibaratannya. Kadangkala seseorang meminta; aku memohon kepadamu (wahai Rasul .red) untuk dapat menemanimu di sorga…tiada yang dikehendakinya malainkan bahwa Nabi SAW menjadi sebab dan pemberi syafaat” (Lihat: Kitab Wafa’ al-Wafa’ bi Akhbar Daarul Mustafa karya as-Samhudi Jilid 2 halaman 1374).
  3. As-Syaukani az-Zaidi pernah menyatakan akan legalitas tawassul dalam kitab karyanya yang berjudul “Tuhfatudz Dzakiriin” dengan mengatakan: “Dan bertawassul kepada Allah melalui para nabi dan manusia saleh”. (Lihat: Kitab Tuhfatudz Dzakiriin halaman 37).
  4.  Abu Ali al-Khalal salah seorang tokoh mazhab Hambali pernah menyatakan: “Tiada perkara yang membuatku gunda kecuali aku pergi ke kuburan Musa bin Jakfar (salah seorang cucu Rasulullah yang dianggap salah seorang Imam oleh Syiah .Red) dan aku bertawasul kepadanya melainkan Allah akan memudahkannya bagiku sebagaimana yang kukehendaki” (Lihat: Kitab Tarikh Baghdad jilid 1 halaman 120 dalam bab kuburan-kuburan yang berada di Baghdad).
Ketiga: Pendapat Ibnu Taimiyah al-Harrani

Jika kita telaah beberapa karya Ibnu Taimiyah maka akan kita dapati bahwa ia telah mengalami kebingungan dalam menentukan masalah ini. Kita akan dapati bahwa terkadang ia mengingkarinya, terjadang membolehkannya, dan terkadang menjawabnya dengan membagi-baginya. Untuk lebih jelasnya, mari kita lihat apa yang telah ditulisnya dalam salah satu kitab yang berjudul “At-Tawassul wal Wasilah” dimana ia membagi Tawassul menadi tiga kategori, ia mengatakan:

1.      Tawassul dengan ketaatan Nabi dan keimanan kepadanya. Ini tergolong asal muasal Iman dan Islam. barangsiapa yang mengingkarinya berarti telah mengingkarinya (kufur) terhadap hal yang umum dan yang khusus.
2.      Tawassul dengan doa dan syafa’at Nabi.dalam arti bahwa Nabi secara langsung dapat memberi syafaat dan mendengar doa- semasa hidupnya dan sehingga di akherat kelak mereka akan bertawassul kepadanya untuk mendapat syafaatnya. Barangsiapa yang mengingkari hal tersebut maka dia tergolong kafir murtad dan harus dimintai tobatnya. Jika tidak tobat maka ia harus dibunuh karena kemurtadannya.
3.      Tawassul untuk mendapat syafaatnya pasca kematiannya. Sungguh ini merupakan bid’ah yang dibuat-buat. (Lihat; Kitab At-Tawassul wal Wasilah karya Ibnu Taimiyah halaman 13/20/50)
Jadi jelaslah bahwa Ibnu Taimiyahpun tergolong orang yang tidak mengingkari legalitas tawassul, walaupun dalam beberapa hal ia nampak rancu dalam menentukan sikapnya. Dari penjelasan di atas tadi membuktikan bahwa, pengkategorian bid’ah dalam tawassul versi Ibnu Taimiyah terletak pada hidup dan matinya obyek yang ditawassuli. Benarkah demikian? Kita akan buktikan -nanti- bahwa pernyataan Ibnu Taimiyah itu tidak sesuai dengan ajaran Islam itu sendiri.

Yang perlu saya perjelas dari ungkapan saya di atas berkaitan dengan pendapat kedua “Islam secara keseluruhan” melegalkan konsep dan praktik Tawassul/Istighatsah kepada Nabi dan orang-orang saleh adalah, bukan hanya Ahlusunnah wal Jamaah saja (termasuk ahli tasawwuf), bahkan kelompok Syiah pun meyakininya. Jadi Sufi dan Syiah kedua kelompok yang paling dibenci oleh kaum Wahhaby pun memiliki kesamaan –juga dalam banyak hal yang dituduhkan Wahaby terhadap Ahlusunnah- dengan kelompok Ahlusunnah. Jadi dalam masalah ini –terkhusus masalah Tawassul/Istighatsah, juga masalah-masalah lain yang dinyatakan syirik dan bid’ah oleh sekte Wahaby- ternyata kelompok Salafy gadungan itu (Wahaby) sendirian, selain karena mereka juga tidak memiliki dalil yang kuat baik bersandarkan dari al-Quran, sunnah Rasul, dan perilaku Salaf Saleh. Dengan kata yang lebih singkat dan mengena.

Ayat-Ayat al-Quran tentang Legalitas Tawassul / Istighotsah

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah; Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?
 
Setelah kita melihat secara ringkas pembagian pendapat beberapa kelompok berkaitan dengan legalitas Tawassul / istighotsah, pada kesempatan kali ini kita akan mengkaji secara global ayat-ayat al-Quran -yang menjadi pedoman utama kaum muslimin- yang menjelaskan tentang konsep tersebut.

Dalam pandangan al-Quran akan kita dapati bahwa hakekat Istighotsah / Tawassul adalah merupakan salah satu pewujudan dari peribadatan yang legal dalam syariat Allah SWT. Ini merupakan hal yang jelas dalam ajaran al-Quran sehingga tidak mungkin dapat dipungkiri oleh muslim manapun, hatta kalompok Wahhaby, jika mereka masih mempercayai kebenaran al-Quran. Dalam al-Quran akan kita dapati beberapa contoh dari permohonan pertolongan (istighotsah) dan pengambilan sarana (tawassul) para pengikut setia para nabi dan kekasih Ilahi yang berguna untuk mendekatkan diri kepada Allah SWT. Hal itu agar supaya Allah SWT mengabulkan doa dan hajatnya dengan segera. Di sini kita akan memberi beberapa contoh yang ada:
 
 
  1. Dalam surat Aali Imran ayat 49, Allah SWT berfirman: “Dan (sebagai) Rasul kepada Bani Israil (yang Berkata kepada mereka): “Sesungguhnya Aku Telah datang kepadamu dengan membawa sesuatu tanda (mukjizat) dari Tuhanmu, yaitu Aku membuat untuk kamu dari tanah berbentuk burung; Kemudian Aku meniupnya, Maka ia menjadi seekor burung dengan seizin Allah; dan Aku menyembuhkan orang yang buta sejak dari lahirnya dan orang yang berpenyakit sopak; dan Aku menghidupkan orang mati dengan seizin Allah; dan Aku kabarkan kepadamu apa yang kamu makan dan apa yang kamu simpan di rumahmu. Sesungguhnya pada yang demikian itu adalah suatu tanda (kebenaran kerasulanku) bagimu, jika kamu sungguh-sungguh beriman”. Dalam ayat di atas disebutkan bahwa para pengkut Isa al-Masih bertawassul kepadanya untuk memenuhi hajat mereka, termasuk menghidupkan orang mati, menyembuhkan yang berpenyakit sopak dan buta. Tentu, mereka bertawassul kepada nabi Allah tadi bukan karena mereka meyakini bahwa Isa al-Masih memiliki kekuatan dan kemampuan secara independent dari kekuatan dan kemampuan Maha Sempurna Allah SWT, sehingga tanpa bantuan Allah-pun Isa mampu melakukan semua hal tadi. Mereka meyakini bahwa Isa al-Masih dapat melakukan semua itu (memenuhi berbagai hajat mereka) karena Isa memiliki ‘kedudukan khusus’ (jah / wajih) di sisi Allah, sebagai kekasih Allah, sehingga apa yang diinginkan olehnya niscaya akan dikabulkan oleh Allah SWT. Ini bukanlah tergolong syirik, karena syirik adalah; “meyakini kekuatan dan kemampuan Isa al-Masih (makhluk Allah) secara independent dari kekuatan dan kemampuan Allah”. Dan tentu, muslimin sejati tidak akan meyakini hal tersebut. Namun aneh jika kelompok Wahhaby langsung menvonis musyrik bagi pelaku istighotsah kepada para kekasih Ilahi semacam itu.
  2. Dalam surat Yusuf ayat 97, Allah SWT berfirman: “Mereka berkata: “Wahai ayah kami, mohonkanlah ampun bagi kami terhadap dosa-dosa kami, Sesungguhnya kami adalah orang-orang yang bersalah (berdosa)””. Jika kita teliti dari ayat di atas maka akan dapat diambil pelajaran bahwa, para anak-anak Yakqub mereka tidak meminta pengampunan dari Yakqub sendiri secara independent tanpa melihat kemampuan dan otoritas mutlak Ilahi dalam hal pengampunan dosa. Namun mereka jadikan ayah mereka yang tergolong kekasih Ilahi (nabi) yang memiliki kedudukan khusus di mata Allah sebagai wasilah (sarana penghubung) permohonan pengampunan dosa dari Allah SWT. Dan ternyata, nabi Yakqub pun tidak menyatakan hal itu sebagai perbuatan syirik, atau memerintahkan anak-anaknya agar langsung memohon kepada Allah SWT karena Allah Maha mendengarkan segala permohonan dan doa, malahan Yakqub menjawab permohonan anak-anaknya tadi dengan ungkapan: “Ya’qub berkata: “Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Tuhanku. Sesungguhnya Dia-lah yang Maha Pengampun lagi Maha penyayang””(QS Yusuf: 98).
  3. Dalam surat an-Nisa’ ayat 64, Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang”.
Dari ayat di atas juga dapat diambil pelajaran yang esensial yaitu bahwa, Rasululah SAW sebagai makhluk Allah yang terkasih dan memiliki kedudukan (jah / maqom / wajih) yang sangat tinggi di sisi Allah sehingga diberi otoritas oleh Allah untuk menjadi perantara (wasilah) dan tempat meminta pertolongan (istighotsah) kepada Allah SWT. Dan terbukti (nanti kita akan perjelas dalam kajian mendatang) bahwa banyak dari para sahabat mulia Rasul yang tergolong Salaf Saleh menggunakan kesempatan emas tersebut untuk memohon ampun kepada Allah SWT melalui perantara Rasulullah SAW. Hal ini yang menjadi kajian para penulis Ahlusunnah wal Jamaah dalam mengkritisi ajaran Wahhabisme, termasuk orang seperti Umar Abdus Salam dalam karyanya “Mukhalafatul Wahhabiyah” (Lihat: halaman 22).

Sekarang yang menjadi pertanyaan kita untuk kaum pengikut sekte Wahhaby adalah; Jikalau istighotsah adalah syirik, lantas apakah mungkin para nabi-nabi Allah tadi membiarkan umat mereka melakukan syirik padahal mereka di utus untuk menumpas segala macam bentuk syirik? Jikalau istighotsah dan tawassul syirik, apakah mungkin mereka mengiyakan permintaan kaum musyrik yang justru akan menyebabkan mereka berlebihan dalam melakukan kesyirikan, berarti para nabi itu telah melakukan tolong menolong terhadap dosa dan permusuhan (ta’awun ‘alal istmi wal ‘udwan)? Naudzubillah min dzalik. Jika istighotsah dan tawassul adalah perbuatan sia-sia maka, apakah mungkin para nabi membiarkan –bahkan meridhoi dan mengajarkan- umat mereka melakukan perbuatan sia-sia dimana kita tahu bahwa pebuatan sia-sia adalah perbuatan yang tercela bagi makhluk yang berakal? Apakah para nabi tidak tahu bahwa Allah Maha mendengar dan lagi Maha mengetahui sehingga membiarkan, meridhoi dan bahkan mengajarkan umatnya ajaran tawassul dan istighotsah?

Jikalau benar bahwa ajaran Istighotsah / tawassul adalah perbuatan syirik, bid’ah, sia-sia, khurafat, akibat tidak mengenal Allah yang Maha mendengar doa, dst….maka Oh betapa bodohnya –naudzuillah min dzalik- para nabi Allah itu tentang konsep ajaran Allah…dan Oh betapa cardasnya –naudzubillah min dzalik- Muhammad bin Abdul Wahhab an-Najdi beserta para pengikut sektenya terhadap ajaran murni Ilahi….

Oleh karena itu wahai saudara-saudaraku muslimin, marilah kita simak kebodohan-kebodohan Wahhaby tentang berbagai ajaran Ilahi berdasarkan ayat-ayat al-Quran, as-Sunnah Rasulillah, prilaku Salaf Saleh dan fatwa para pemuka mazhab Ahlusunnah, walaupun para pengikut Wahhaby tetap merasa benar sendiri dengan bekal kecongkakan dan kebodohannya.

Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan ‘doa’ manusia saleh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat relasi erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa manusia saleh oleh Allah disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.
 
Dalam al-Quran, Allah SWT telah menekankan kepada umat Muhammad SAW untuk melaksanakan tawassul, dan Ia telah mengizinkan mereka untuk melakukan tawassul dengan berbagai jenis dan bentuknya. Ini semua menjadi bukti bahwa tawassul sama sekali tidak bertentangan dengan konsep kesempurnaan Ilahi, termasuk dengan ke-Maha Mendengar-an dan ke-Maha Mengetahui-an Allah terhadap doa hamba-hamba-Nya, apalagi dengan kesia-siaan perbuatan tawassul. Di sini, kita akan sebutkan secara ringkas beberapa bentuk tawassul yang dilegalkan menurut al-Quran;

Tawassul dengan Nama-Nama Agung Allah

Allah SWT berfirman: “Hanya milik Allah asmaa-ul husna, Maka bermohonlah kepada-Nya dengan menyebut asmaa-ul husna itu dan tinggalkanlah orang-orang yang menyimpang dari kebenaran dalam (menyebut) nama-nama-Nya. nanti mereka akan mendapat balasan terhadap apa yang Telah mereka kerjakan.” (QS al-A’raf: 180)
Ayat di atas dalam rangka menjelaskan tentang kebaikan nama-nama Allah tanpa ada perbedaan dari nama-nama itu. Dan melalui nama-nama penuh berkah itulah kita diperkenankan untuk berdoa kepada Allah. Tentu nama Allah bukan Dzat Allah sendiri. Akan tetapi melalui nama-nama Allah yang memiliki kandungan sifat keindahan, rahmat, ampunan dan keagungan itulah kita disuruh memohon kepada Dzat Allah SWT, obyek utama doa, untuk pengkabulan segala hajat dan pengampunan dosa.

Tawassul melalui Amal Saleh

Amal saleh merupakan salah satu jenis sarana (wasilah) yang dilegalkan oleh Allah SWT. Amal saleh juga bukan Dzat Allah itu sendiri, namun Allah membolehkan kita mengambil sarana darinya untuk memohon sesuatu kepada Dzat Allah SWT. Melalui sarana tersebut seorang hamba akan didengar semua keinginannya oleh Allah. Ketika tawassul berarti; “Mempersembahkan (menyodorkan) sesuatu kepada Allah demi untuk mendapat Ridho-Nya” maka tanpa diragukan lagi bahwa amal saleh adalah salah satu dari sekian sarana yang baik untuk mendapat ridho Ilahi. Hal ini sebagaimana yang dilakukan oleh Nabi Ibrahim AS ketika pertama kali membangun Ka’bah. Allah dalam al-Quran berfirman: “Dan (ingatlah), ketika Ibrahim meninggikan (membina) dasar-dasar Baitullah bersama Ismail (seraya berdoa): “Ya Tuhan kami terimalah daripada kami (amalan kami), Sesungguhnya Engkaulah yang Maha mendengar lagi Maha Mengetahui”. Ya Tuhan kami, jadikanlah kami berdua orang yang tunduk patuh kepada Engkau dan (jadikanlah) diantara anak cucu kami umat yang tunduk patuh kepada Engkau dan tunjukkanlah kepada kami cara-cara dan tempat-tempat ibadat haji kami, dan terimalah Taubat kami. Sesungguhnya Engkaulah yang Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS al-Baqarah 127-128)
Ayat di atas menjelaskan bagaimana hubungan antara Amal Saleh (pembangunan Ka’bah) dengan keinginan Ibrahim al-Khalil agar Allah menjadikan dirinya, anak-cucunya sebagai muslim sejati dan agar Allah menerima taubatnya.

Tawassul melalui Doa Rasul

Allah SWT dalam al-Quran (dalam banyak ayat) menyebutkan betapa agung kedudukan para Nabi dan Rasul di sisi-Nya. Allah SWT juga menekankan bahwa mereka adalah manusia-manusia khusus yang berbeda secara kualitas maupun kuantatitas bobot penciptaan yang mereka miliki dibanding manusia biasa, apalagi berkaitan dengan pribadi agung Muhammad bin Abdillah SAW sebagai penghulu para Nabi dan Rasul. Atas dasar itu, jika kita lihat, dalam masalah seruan (panggilan) saja –yang nampaknya remeh- para manusia diperintah untuk menyamakannya dengan seruan terhadap manusia biasa lainnya. Allah SWT berfirman: “Janganlah kamu jadikan panggilan Rasul diantara kamu seperti panggilan sebahagian kamu kepada sebahagian (yang lain). Sesungguhnya Allah Telah mengetahui orang-orang yang berangsur- angsur pergi di antara kamu dengan berlindung (kepada kawannya), Maka hendaklah orang-orang yang menyalahi perintah-Nya takut akan ditimpa cobaan atau ditimpa azab yang pedih” (QS an-Nur: 63)

Bahkan dalam kesempatan lain Allah SWT juga menjelaskan, betapa manusia agung pemilik kedudukan (jah) tinggi di sisi Allah SWT itu telah mampu menjadi pengaman bagi penghuni bumi ini dari berbagai bencana. Allah SWT berfirman: “Dan Allah sekali-kali tidak akan mengazab mereka, sedang kamu berada di antara mereka. dan tidaklah (pula) Allah akan mengazab mereka, sedang mereka meminta ampun” (QS al-Anfal: 33).

Bahkan dalam banyak kesempatan (ayat), Allah SWT menyandingkan nama-Nya dengan nama Rasulullah SAW dan menyatakan bahwa perbuatan keduanya dinyatakan sebagai berasal dari sumber yang satu. Ini sebagai bukti, betapa tinngi, agung dan mulianya sosok Nabi Muhammad SAW di mata Allah SWT. Sebagai contoh, apa yang dinyatakan Allah SWT dalam al-Quran yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik) mengemukakan ‘uzurnya kepadamu, apabila kamu Telah kembali kepada mereka (dari medan perang). Katakanlah: “Janganlah kamu mengemukakan ‘uzur; kami tidak percaya lagi kepadamu, (karena) Sesungguhnya Allah Telah memberitahukan kepada kami beritamu yang sebenarnya. dan Allah serta rasul-Nya akan melihat pekerjaanmu, Kemudian kamu dikembalikan kepada yang mengetahui yang ghaib dan yang nyata, lalu dia memberitahukan kepadamu apa yang Telah kamu kerjakan” (QS at-Taubah: 94). Atau ayat yang berbunyi: “Mereka (orang-orang munafik itu) bersumpah dengan (nama) Allah, bahwa mereka tidak mengatakan (sesuatu yang menyakitimu). Sesungguhnya mereka Telah mengucapkan perkataan kekafiran, dan Telah menjadi kafir sesudah Islam dan mengingini apa yang mereka tidak dapat mencapainya, dan mereka tidak mencela (Allah dan Rasul-Nya), kecuali Karena Allah dan rasul-Nya Telah melimpahkan karunia-Nya kepada mereka. Maka jika mereka bertaubat, itu adalah lebih baik bagi mereka, dan jika mereka berpaling, niscaya Allah akan mengazab mereka dengan azab yang pedih di dunia dan akhirat; dan mereka sekali-kali tidaklah mempunyai pelindung dan tidak (pula) penolong di muka bumi” (QS at-Taubah: 74) dan masih banyak ayat lainnya yang menjadi bukti bahwa Rasulullah SAW adalah makhluk termulia dan memiliki kedudukan khusus di sisi Khaliknya. Jika kita telah mengetahui kedudukan tinggi Rasul semacam ini maka kita akan mendapat kepastian (tentu dengan berdasar dalil) bahwa permohonan doa –tentu doa yang baik- dengan menjadikan Rasul sebagai sarana (wasilah) niscaya Allah SWT akan enggan menolak permintaan kita dengan membawa nama kekasih-Nya tersebut. Dengan menyebut nama Rasulullah Muhammad bin Abdullah SAW maka kita telah menyeru Allah SWT dengan berpegangan terhadap tonggak yang sangat kokoh yang tidak akan tergoyahkan. Atas dasar itu, Allah SWT memerintahkan kepada para pelaku dosa dari kaum muslimin untuk berpegangan dengan tonngak yang tak tergoyahkan tersebut (hakekat Muhammad Rasulullah SAW) dan meminta pengampunan di setiap majlis mereka, baik untuk dirinya maupun untuk orang lain. Karena melalui permohonan ampun melalui hakekat pribadi Muhammad SAW adalah kunci dari penyebab turunnya rahmat, pengampunan dan ridho Allah SWT. Dalam hal ini Allah SWT berfirman: “Dan kami tidak mengutus seseorang Rasul melainkan untuk ditaati dengan seizin Allah. Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa’: 64). Ayat tadi dikuatkan dengan ayat lainnya, seperti firman Allah SWT: “Dan apabila dikatakan kepada mereka: marilah (beriman), agar Rasulullah memintakan ampunan bagimu, mereka membuang muka mereka dan kamu lihat mereka berpaling sedang mereka menyombongkan diri” (QS al-Munafiqqun: 5). Semua itu sebagai sedikit bukti bahwa Rasulullah SAW memiliki kedudukan, kemualiaan dan keagungan di mata Allah SWT, Pencipta dan Penguasa alam semesta.
Hakekat tersembunyi dari pribadi agung Muhammad semacam ini hanya akan bisa dipahami dan diyakini dengan baik oleh pribadi-pribadi yang mengenal betul siapakah gerangan Muhammad bin Abdillah SAW tadi. Bagi orang yang belum mengenal diri baginda Rasul niscaya ia akan meragukannya, karena masih mengaggap Rasul sebagai manusia biasa, selayaknya manusia biasa lainnya. Anggapan kerdil semacam inilah yang menyebabkan beberapa pengikut sekte Wahaby terjerumus ke lembah penyesatan kelompok lain yang mengetahui rahasia keagungan Rasul sewaktu mereka memuji Rasulullah SAW dengan pujian-pujian yang bersumber dari al-Quran dan Hadis sahih, baik pujian yang terjelma dalam kitab-kitab maulid maupun kitab-kitab ratib. Rahasia hakekat Muhammad –dan nabi-nabi lain- ini pulalah yang akan kita jadikan dalil “Legalitas Tawassul kepada Pribadi Agung yang secara Zahir telah Meninggal”, pada kesempatan mendatang.

Tawassul melalui Doa Saudara Mukmin

Salah satu sarana lain yang disinggung oleh Allah SWT dalam al-Quran adalah, doa saudara mukmin. Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman: “Dan orang-orang yang datang sesudah mereka (Muhajirin dan Anshor), mereka berdoa: “Ya Rabb kami, beri ampunlah kami dan Saudara-saudara kami yang Telah beriman lebih dulu dari kami, dan janganlah Engkau membiarkan kedengkian dalam hati kami terhadap orang-orang yang beriman; Ya Rabb kami, Sesungguhnya Engkau Maha Penyantun lagi Maha Penyayang.”” (QS al-Hasyr: 10). Ayat di atas menjelaskan bahwa kaum mukmin yang datang terakhir telah mendoakan untuk mendapat pengampunan bagi kaum mukmin yang terdahulu. Ayat ini selain membuktikan bahwa doa kepada orang terdahulu sangat ditekankan oleh Islam, juga bisa menjadi bukti global bahwa memberi hadiah doa kepada yang telah mati –walau bukan anak serta famili (kerabat)- akan dapat sampai dan bermanfaat buat sang mayit di alam sana.

Tawassul melalui Diri Para Nabi dan Hamba Saleh

Bagian dari tawassul ini berbeda dengan bagian sebelumnya (lihat no 3). Jika pada kesempatan yang lalu disebutkan mengenai tawassul melalui doa Nabi maka pada kesempatan kali ini kita diberitahukan tentang tawassul kepada diri dan pribadi Nabi agar menjadi sarana pengkabulan doa, karena mereka memiliki kedudukan (jah) di sisi Allah SWT. Sebagai contoh apa yang dilakukan nabi Ayyub dengan baju bekas dipakai (melekat di badan) oleh Yusuf sebagai sarana (wasilah) kesembuhannya dari kebutaan, berkat izin Allah SWT. Jelas sekali perbedaan antara tawassul melalui doa Nabi, dengan tawassul melalui diri Nabi.

Jadi, di sini kita diberitahukan tentang legalitas tawassul kepada Allah melalui keutamaan (fadhilah), kedudukan (jah), kemuliaan (karamah) dan keagungan (adzamah) pribadi Nabi/Rasul di sisi Allah SWT. Ini merupakan bentuk anugerah khusus (‘inayah khasshah) yang Allah berikan kepada para nabi dan rasul, juga para kekasih-Nya yang lain. Jadi sarana (wasilah) yang dijanjikan Allah SWT itu diletakkan kepada pribadi para hamba Allah yang telah dimuliakan, diagungkan dan diangkat derajatnya oleh Allah SWT. Hal itu sebagaimana Allah telah mengangkatnya ke pangkuan-Nya. Allah SWT berfirman: “Dan kami tinggikan bagimu sebutan (nama)mu” (QS al-Insyirah: 4). Orang-orang semacam itu (manusia Saleh pengikut sejati Rasul), mereka adalah para pemiliki kedudukan tinggi di sisi Allah, maka Allah SWT memerintahkan kepada segenap kaum muslimin lainnya untuk memuliakan dan menghormati mereka. Allah SWT berfirman: “(yaitu) orang-orang yang mengikut rasul, nabi yang ummi yang (namanya) mereka dapati tertulis di dalam Taurat dan Injil yang ada di sisi mereka, yang menyuruh mereka mengerjakan yang ma’ruf dan melarang mereka dari mengerjakan yang mungkar dan menghalalkan bagi mereka segala yang baik dan mengharamkan bagi mereka segala yang buruk dan membuang dari mereka beban-beban dan belenggu-belenggu yang ada pada mereka. Maka orang-orang yang beriman kepadanya. memuliakannya, menolongnya dan mengikuti cahaya yang terang yang diturunkan kepadanya (Al Quran), mereka Itulah orang-orang yang beruntung” (QS al-A’raf: 157).

Jika kunci terkabulnya doa terdapat pada kepribadian dan kedudukan luhur di sisi Allah SWT yang dimiliki oleh setiap manusia Saleh tadi maka sudah menjadi hal yang utama jika mereka dijadikan sebagai sarana (wasilah) oleh segenap manusia muslim biasa untuk mendapat keridhoaan Allah. Sebagaimana doa mereka pun selalu didengar dan dikabulkan oleh Allah SWT. Jika ada kelompok muslim yang membolehkan menjadikan ‘doa’ manusia saleh sebagai sarana (wasilah) menuju ridho Allah maka menjadikan sarana (wasilah) kepribadian (dzat / syakhsyiyah) dan kedudukan (jah / maqom / manzilah / karamah / fadhilah) manusia saleh tadi pun lebih utama untuk diperbolehkan. Karena antara ‘sarana pengkabulan doa’ dan ‘sarana kedudukan/kepribadian agung manusia saleh’ terdapat relasi erat dan menjadio konsekuensi logis, riil dan legal (syar’i). Memisahkan antara keduanya sama halnya memisahkan dua hal yang memiliki relasi erat, bahkan sampai pada derajat hubungan sebab-akibat. Karena, pengkabulan doa manusia saleh oleh Allah disebabkan karena kepribadiannya yang luhur, dan kepribadian luhur itulah yang menyebabkan kedudukan mereka diangkat oleh Allah SWT.

Tawassul jenis ini juga memiliki sandaran hadis yang diriwayatkan oleh para imam perawi hadis dari Ahlusunnah melalui jalur yang sahih. Untuk menyingkat waktu, bagi yang ingin menelaah lebih lanjut hadis-hadis tersebut, silahkan merujuknya dalam kitab-kitab hadis seperti;
a- Musnad Imam Ahmad bin Hambal; jilid: 4 halaman: 138 hadis ke-16789
b- Sunan Ibnu Majah; jilid: 1 halaman: 441 hadis ke-1385
c- Sunan at-Turmudzi; jilid: 5 halaman: 531 dalam kitab ad-Da’awaat, bab 119 hadis ke-3578

Tawassul melalui Kedudukan dan Keagungan Hamba Saleh

Disamping yang telah kita singgung pada bagian sebelumnya (no 5), jika kita telaah dari sejarah hidup para pendahulu dari kaum muslimin niscaya akan kita dapati bahwa mereka melegalkan tawassul dengan jalan ini, sesuai pemahaman mereka tentang syariat yang dibawa oleh Rasulullah SAW. Mereka bertawassul melalui kedudukan dan kehormatan para manusia Saleh, dimana diyakini bahwa para manusia saleh tadi pun memiliki kedudukan tinggi di sisi Allah SWT. Manusia saleh yang dimaksud di sini adalah sebagaimana apa yang dikemukakan oleh Rasul kepada Muadz bin Jabal ini, Rasul bersabda: “Wahai Muadz, apakah engkau mengetahui apakah hak Allah kepada hamba-Nya?”. Muadz menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Lantas Rasul bersabda: “Sesunguhnya hak Allah kepada Hamba-Nya adalah hendaknya hamba-hamba-Nya itu menyembah-Nya dan tidak menyekutukan-Nya terhadap apapun”. Agak beberapa lama, kembali Rasul bersabda: “Wahai Muadz!”, aku (Muadz) menjawab: “Ya wahai Rasul!?”. Rasul bertanya: “Adakah engkau tahu, apakah hak seorang hamba ketika telah melakukan hal tadi?”. aku (Muadz) menjawab: “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui”. Rasul bersabda: “Ia tiada akan mengazabnya”. (Lihat: Sohih Muslim dengan syarh dari an-Nawawi jilid: 1 halaman: 230-232). Dari hadis tadi jelas bahwa maksud dari Saleh adalah setiap orang yang melakukan penghambaan penuh (ibadah) kepada Allah dan tidak melakukan penyekutuan terhadap Allah SWT. Dan dikarenakan tawassul (mengambil wasilah) bukanlah tergolong penyekutuan Allah –karena dilegalkan oleh Allah SWT- maka para pelaku tawassul pun bisa masuk kategori orang Saleh pula, jika ia melakukan peribadatan yang tulus dan tidak melakukan kesyirikan (penyekutuan Allah). Orang-orang saleh semacam itulah yang dinyatakan dalam al-Quran sebagai pemancar cahaya Ilahi yang dengannya mereka hidup di tengah-tengah manusia. Allah SWT berfirman: “Dan apakah orang yang sudah mati Kemudian dia kami hidupkan dan kami berikan kepadanya cahaya yang terang, yang dengan cahaya itu dia dapat berjalan di tengah-tengah masyarakat manusia, serupa dengan orang yang keadaannya berada dalam gelap gulita yang sekali-kali tidak dapat keluar dari padanya? Demikianlah kami jadikan orang yang kafir itu memandang baik apa yang Telah mereka kerjakan” (QS al-An’am: 122). Atau sebagaimana dalam firmah Allah SWT lainya; “Hai orang-orang yang beriman (kepada para rasul), bertakwalah kepada Allah dan berimanlah kepada Rasul-Nya, niscaya Allah memberikan rahmat-Nya kepadamu dua bagian, dan menjadikan untukmu cahaya yang dengan cahaya itu kamu dapat berjalan dan dia mengampuni kamu. dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS al-Hadid: 28). Sebagaimana kita semua mengetahui bahwa, fungsi dan kekhususan cahaya adalah; “ia sendiri terang dan mampu menerangi obyek lain”. Begitu juga dengan manusia saleh yang mendapat otoritas pembawa pancaran Ilahi.

Dari sini jelas sekali bahwa al-Quran telah menun jukan kepada kita bahwa, para nabi dan manusia saleh dari hamba-hamba Allah –seperti peristiwa umat Isa al-Masih atau saudara-saudara Yusuf (anak-anak Yakqub)- telah melakukan tawassul. Dan al-Quran pun telah dengan jelas memberikan penjelasan tentang beberapa obyek tawassul. Tawassul tersebut bukan hanya sebatas berkaitan dengan doa para manusia kekasih Ilahi itu saja, bahkan pada pribadi para manusia kekasih Ilahi itu juga. Hal itu karena antara pribadi para kekasih Ilahi dengan bacaan doa mereka tidak dapat dipisahkan dan terjadi relasi (konsekuensi) yang sangat erat

Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada.
beberapa contoh hadis yang menjadi landasan legalitas tawassul/istighotsah. Dalam beberapa kitab standart Ahlusunah wal Jamaah akan dapat kita temui beberapa hadis yang menjelaskan tentang legalitas hal tawassul dan istighotsah terhadap Rasul dan para hamba Allah yang saleh. Sebagai contoh apa yang disebutkan dalam hadis-hadis di bawah ini:

1-Dari Ustman bin Hanif yang mengatakan: Sesungguhnya telah datang seorang lelaki yang tertimpa musibah (penyakit) kepada Nabi SAW. Lantas lelaki itu mengatakan kepada Rasul; “Berdoalah kepada Allah untukku agar Ia menyembuhkanku!”. Lantas Rasul bersabda: “Jika engkau menghendaki maka aku akan menundanya untukmu, dan itu lebih baik. Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”. Lantas dia (lelaki tadi) berkata: “Memohonlah kepada-Nya (untukku)!”. Lantas Rasul memerintahkannya untuk mengambil air wudhu, kemudian ia berwudhu dengan baik lantas melakukan shalat dua rakaat. Kemudian ia membaca doa tersebut
:
اللهم إني أسئلك و أتوجه إليك بمحمد نبي الرحمة يا محمد إني قد توجهت بك إلي ربي في حاجتي هذه لتُقضي اللهم فشفعه فيٍَ
 
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu, dan aku datang menghampiri-Mu, demi Muhammad sebagai Nabi yang penuh rahmat. Ya Muhammad, sesungguhnya aku telah datang menghampiri-mu untuk menjumpai Tuhan-ku dan meminta hajat-ku ini agar terkabulkan. Ya Allah, maka berilah pertolongan kepadanya untukku)
Yang dimaksud dengan Abu Jakfar dalam hadis tadi adalah, Abu Jakfar al-Khathmi yang dinyatakan kepercayaannya oleh banyak ahli rijal hadis, termasuk ar-Rifa’i dalam kitab “At-Tawasshul ila Haqiqat at-Tawassul” halaman 158.

Hadis di atas juga diriwayatkan oleh para Imam hadis terkemuka Ahlusunnah, seperti: Imam at-Turmudzi dalam “Sunan at-Turmudzi” 5/531 hadis ke-3578, Imam an-Nasa’i dalam kitab “as-Sunan al-Kubra” 6/169 hadis ke-10495, Imam Ibnu Majah dalam “Sunan Ibnu Majah” 1/441 hadis ke-1385, Imam Ahmad dalam “Musnad Imam Ahmad” 4/138 hadis ke-16789, al-Hakim an-Naisaburi dalam “Mustadrak as-Shohihain” 1/313, as-Suyuthi dalam kitab “al-Jami’ as-Shoghir” halaman 59, dsb. Sehingga dari situ, Ibnu Taimiyah pun menyatakan kesahihannya pula .

Anehnya, sebagian Wahhaby menyatakan bahwa tawassul/istighotsah semacam itu perbuatan sia-sia dan bertentangan dengan ke-Maha mendengar dan mengetahui-an Allah dengan menyatakan; “Kenapa kita harus berdoa melalui orang dengan alasan ia lebih dekat kedudukannya di sisi Allah dan doanya lebih didengar oleh-Nya? Bukankah Allah Maha mendengar lagi Maha mengetahui atas doa para hamba-Nya?”.

Justru pertanyaan selanjutnya yang harus dijawab oleh orang Wahhaby yang berpikiran semacam itu adalah; kenapa Rasul menjawab permintaan orang tadi dengan mengatakan “…Namun jika engkau menghendaki maka aku akan berdoa (untukmu)”, apakah Nabi –yang makhluk erkasih Ilahi itu- tidak mengetahui apa yang ada di otak kepala Wahhaby tadi? Apakah mereka lebih pintar dari Nabi?

Dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bagaimana Nabi mengajarkan cara bertawassul kepada lelaki terkena bencana tersebut. Dan juga dapat kita ambil pelajaran bahwa, bersumpah atas nama pribadi Nabi (بمحمد) adalah hal yang diperbolehkan (legal menurut syariat Islam), begitu juga dengan kedudukan (jah) Muhammad yang tertera dalam kata “نبي الرحمة”. Jika tidak maka sejak semula Nabi akan menegur lelaki tersebut. Jadi tawassul lelaki tersebut melalui pribadi Muhammad –bukan hanya doa Nabi- yang sekaligus atas nama sebagai Nabi pembawa Rahmat yang merupakan kedudukan (jah) tinggi anugerah Ilahi merupakan hal legal menurut syariat Muhammad bin Abdillah SAW.

2- Diriwayatkan oleh ‘Aufa al-‘Aufa dari Abi Said al-Khudri, bahwa Rasul SAW pernah menyatakan: “Barangsiapa yang keluar dari rumahnya untuk melakukan shalat (di masjid) maka hendaknya mengatakan:
“اللهم إني أسئلك بحق السائلين عليك ”و أسئلك بحق ممشاي هذا فإني لم أخرج أشرا و لا بطرا و لا ريائا و لا سمعة خرجت اتقاء سختك و ابتغاء مرضاتك فأسئلك أن تعيذني من النار و أن تغفرلي ذنوبي إنه لا يغفر الذنوب إلا أنت”

(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-mu, demi para pemohon kepada-Mu. Dan aku memohon kepada-Mu, demi langkah kakiku ini. Sesungguhnya aku tidak keluar untuk berbuat aniaya, sewenang-wenang, ingin pujian dan berbangga diri. Aku keluar untuk menjauhi murka-Mu dan mengharap ridho-Mu. Maka aku memohon kepada-Mu agar Kau jauhkan diriku dari api neraka. Dan hendaknya Engkau ampuni dosaku, karena tiada dzat yang dapat menghapus dosa melainkan diri-Mu), niscaya Allah akan menyambutnya dengan wajah-Nya kepadanya dan memberinya balasan sebanyak tujuh puluh ribu malaikat”. (Lihat: Kitab “Sunan Ibnu Majah”, 1/256 hadis ke-778 bab berjalan untuk melakukan shalat)

Dari hadis di atas dapat diambil pelajaran bahwa, Rasul SAW mengajarkan kepada kita bagaimana kita berdoa untuk menghapus dosa kita dengan menyebut (bersumpah dengan kata ‘demi’) diri (dzat) para peminta doa dari para manusia saleh dengan ungkapan “بحق السائلين عليك”. Rasulullah di situ tidak menggunakan kata “بحق دعاء السائلين عليك” (demi doa para pemohon kepada-Mu), tetapi langsung menggunakan ‘diri pelaku perbuatan’ (menggunakan isim fa’il). Dengan begitu berarti Rasul SAW membenarkan –bahkan mengajarkan- bagaimana kita bertawassul kepada diri dan kedudukan para manusia saleh kekasih Ilahi (wali Allah) -yang selalu memohon kepada Allah SWT- untuk menjadikan mereka sebagai sarana penghubung antara kita dengan Allah dalam masalah permintaan syafa’at, permohonan ampun, meminta hajat, dsb.

3- Diriwayatkan dari Anas bin Malik, ia mengatakan; ketika Fathimah binti Asad meninggal dunia, Rasulullah SAW datang dan duduk di sisi kepalanya sembari bersabda: “رحمك الله يا أمي بعد أمي” (Allah merahmatimu wahai ibuku pasca ibu (kandung)-ku). Lantas beliau (Rasul) menyebutkan pujian terhadapnya, lantas mengkafaninya dengan jubah beliau. Kemudian Rasul memanggil Usamah bin Zaid, Abu Ayyub al-Anshari, Umar bin Khattab dan seorang budak hitam untuk menggali kuburnya. Lantas mereka menggali liang kuburnya. Sesampai di liang lahat, Rasul sendiri yang menggalinya dan mengeluarkan tanah lahat dengan menggunakan tangan beliau. Setelah selesai (menggali lahat), kemudian Rasul berbaring di situ sembari berkata:
“ا

لله الذي يحي و يميت و هو حي لا يموت اغفر لأمي فاطمة بنت أسد و وسع عليها مدخلها بحق نبيك و الأنبياء الذين من قبلي”

(Allah Yang menghidupkan dan mematikan. Dan Dia Yang selalu hidup, tiada pernah mati. Ampunilah ibuku Fathimah binti Asad. Perluaskanlah jalan masuknya, demi Nabi-Mu dan para nabi sebelumku). (Lihat: Kitab al-Wafa’ al-Wafa’)

Hadis di atas jelas sekali bagaimana Rasulullah bersumpah demi kedudukan (jah) yang beliau miliki, yaitu kenabian, dan kenabian para pendahulunya yang telah mati, untuk dijadikan sarana (wasilah) pengampunan kesalahan ibu (angkat) beliau, Fathimah binti Asad. Dan dari hadis di atas juga dapat kita ambil pelajaran, bagaimana Rasul memberi ‘berkah’ (tabarruk) liang lahat itu untuk ibu angkatnya dengan merebahkan diri di sana, plus mengkafani ibunya tersebut dengan jubah beliau.

Sebagai penutup dari contoh hadis-hadis tentang legalitas tawassul dalam syariat Islam, kita akan melihat satu ‘pujian’ yang diberikan salah satu sahabat Rasul kepada diri Rasulullah SAW yang memiliki muatan Tawassul.

4- Diriwayatkan bahwa Sawad bin Qoorib melantunkan pujiannya terhadap Rasul dimana dalam pujian tersebut juga terdapat muatan permohonan tawassul kepada Rasulullah SAW. Ia mengatakan:

و أشهد أن الله لا رب غيره …. * …. و أنك مأمون علي كل غائب
و أنك أدني المرسلين وسيلة …. * …. الي الله يان الأكرمين الأطائب
فمرنا بما يأتيك يا خير مرسل …. * …. و إن كان فيما فيه شيب الذوائب
و كن لي شفيعا يوم لا ذو شفاعة *…. …. سواك بمغن عن سواد بن قارب

(Lihat: Kitab Fathul Bari 7/137, atau kitab at-Tawasshul fi Haqiqat at-Tawassul karya ar-Rifa’i halaman 300)

Kejelasan-kejelasan semacam inilah yang tidak dapat dipungkiri oleh kaum muslimin manapun, terkhusus para pengikut sekte Wahabisme. Atas dasar itu, Ibnu Taimiyah sendiri dalam kitabnya “at-Tawassul wa al-Wasilah” dengan mengutip pendapat para ulama Ahlusunah seperti; Ibnu Abi ad-Dunya, al-Baihaqi, at-Thabrani, dan sebagainya telah melegalkan tawassul sesuai dengan hadis-hadis yang ada. (Lihat: Kitab “at-Tawassul wal Wasilah” karya Ibnu Taimiyah halaman 144-145)

Walaupun beberapa hadis di atas secara tersirat telah membuktikan legalitas tawassul terhadap para nabi terdahulu dan para manusia saleh yang telah mati, namun mungkin masih menjadi pertanyaan di benak kaum muslimin, adakah dalil yang dengan jelas memperbolehkan tawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati?

Prilaku Salaf Saleh Penguat Legalitas Tawassul / Istighotsah
Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’-nya Ali terhadap orang yang bertawassul kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sahabat dan menantu mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran’ istri Rasulullah. Jika bertawassul/istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik, maka apakah mungkin istri Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu, padahal ia selalu hidup bersama Rasul yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dahulu mendidik istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati adalah bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih paham Islam daripada Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan direnungkan dengan hati dan kepala yang dingin!
Kita semua mengetahui bahwa para sahabat, tabiin dan tabiut at-tabiin adalah termasuk dalam golongan salaf soleh dimana mereka hidup sangat dekat denga zaman penurunan risalah Islam. Terkhusus para sahabat yang mendapat pengajaran langung dari Rasulullah SAW dimana setiap perkara yang tidak mereka pahami langsung mereka tanyakan dan langsung mendapat jawabannya dari baginda Rasul. Salah satu dari sekian perkara yang menjadi bahan kajian kita kali ini adalah, bagaimana pemahaman para sahabat berkaitan dengan konsep istighotsah / tawassul yang sesuai dengan petunjuk Rasulullah SAW.

Untuk mempersingkat waktu, di sini kita akan menunjukkan beberapa riwayat yang menjelaskan pemahaman Salaf Saleh –yang dalam hal ini mencakup para sahabat mulia Rasul- berkaitan dengan konsep tersebut, dan parktik mereka dalam kehidupan sehari-hari. Oleh karenanya, kita akan memberikan beberapa contoh seperti di bawah ini:

1- Dahulu Rasulullah mengajarkan seseorang tentang tata cara memohon kepada Allah dengan lantas menyeru Nabi untuk bertawassul kepadanya, dan meminta kepada Allah agar mengabulkan syafaatnya (Nabi) dengan mengatakan:


“يا محمد يا رسول الله إني أتوسل بك إلي ربي في حاجتي لتُقضي لي اللهم فشفعه فيٍ”َ.
(Wahai Muhammad, Wahai Rasulullah! Sesungguhnya aku bertawassul denganmu kepada Tuhanku dalam memenuhi hajatku agar dikabulkan untukku. Ya Allah, terimalah bantuannya padaku). (Lihat: Kitab “Majmu’atur Rasa’il wal Masa’il” karya Ibnu Taimiyah 1/18)

Jelas sekali bahwa yang dimaksud dengan lelaki di atas adalah lelaki muslim yang sezaman dan pernah hidup bersama Rasul, serta pernah belajar dari beliau, yang semua itu adalah memenuhi kriteria sahabat menurut ajaran Ahlusunnah wal Jamaah. Mari kita teliti dan renungkan kata demi kata dari ajaran Rasul terhadap salah seorang sahabat itu sewaktu beliau mengajarinya tata cara bertawassul melalui ‘diri’ Muhammad sebagai Rasulullah, satu ‘kedudukan’ (jah) tinggi di sisi Allah. Sengaja kita ambil rujukan dari Ibnu Taimiyah agar pengikut sekte Wahhaby memahami dengan baik apa sinyal dibalik tujuan kami menukil dari kitab syeikh mereka itu, agar mereka berpikir.

2- Khalifah Umar bin Khattab pernah meminta hujan kepada Allah melalui paman Rasul, Abbas bin Abdul Mutthalib. Dalam bertawassul, khalifah Umar mengatakan:
“ا

للهم كنا نتوسل إليك بنبينا فتسقينا و إنا نتوسل إليك بعم نبينا فاسقنا. قال: فيسقون”

(Ya Allah, dahulu kami bertawassul kepada-Mu melalui Nabi kami lantas Engkau beri kami hujan. Sekarang kami bertawassul kepada-Mu melalui paman Nabi kami maka beri kami hujan. Dan (perawi) berkata: maka mereka diberi hujan). (Lihat: Kitab “Shohih Bukhari” 2/32 hadis ke-947 dalam Bab Shalat Istisqo’)

Riwayat di atas memberikan pelajaran kepada kita bagaimana Khalifah Umar –sahabat Rasul- melakukan hal yang pernah diajarkan Rasul kepada para sahabat mulia beliau. Walaupun riwayat di atas menunjukkan bahwa Umar bin Khattab bertawassul kepada manusia yang masih hidup, akan tetapi hal itu tidak berarti secara otomatis riwayat di atas dapat menjadi bukti bahwa bertawassul kepada yang telah mati adalah ‘haram’ (entah karena alasan syirik atau bid’ah), karena tidak ada konsekuensi di situ. Di tambah lagi nanti terdapat riwayat lain yang menjelaskan bahwa sebagian sahabat –sesuai dengan pemahaman mereka dari apa yang diajarkan Rasul- juga melakukan tawassul kepada seseorang yang secara zahir telah mati. Yang jelas, riwayat di atas dengan tegas menjelaskan akan legalitas tawassul / istighitsah dan menyangkal pendapat sebagian Wahhaby yang mengatakan bahwa bertawassul adalah perbuatan sis-sia dan bertentangan dengan ke-Mahamendengar dan Mahamengetahui-an Allah SWT. Juga sekaligus menjelaskan legalitas tawassul melalui diri (Abbas bin Abdul Mutthalib) dan kedudukan (sebagai paman manusia termulia) di hadapan Allah SWT.

3- Berkata al-Hafidz Abu Abdillah Muhammad bin Musa an-Nukmani dalam karyanya yang berjudul “Mishbah adz-Dzolam”; Sesungguhnya al-Hafidz Abu Said as-Sam’ani menyebutkan satu riwayat yang pernah kami nukil darinya yang bermula dari Khalifah Ali bin Abi Thalib yang pernah mengisahkan: “Telah datang kepada kami seorang badui setelah tiga hari kita mengebumikan Rasulullah. Kemudian ia menjatuhkan dirinya ke pusara Rasul dan membalurkan tanah (kuburan) di atas kepalanya seraya berkata: Wahai Rasulullah, engkau telah menyeru dan kami telah mendengar seruanmu. Engkau telah mengingat Allah dan kami telah mengingatmu. Dan telah turun ayat; “Sesungguhnya Jikalau mereka ketika menganiaya dirinya datang kepadamu, lalu memohon ampun kepada Allah, dan rasulpun memohonkan ampun untuk mereka, tentulah mereka mendapati Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang” (QS an-Nisa: 64) dan aku telah menzalimi diriku sendiri. Dan aku mendatangimu agar engkau memintakan ampun untukku. Lantas terdengar seruan dari dalam kubur: Sesungguhnya Dia (Allah) telah mengampunimu”. (Lihat: Kitab “Wafa’ al-Wafa’” karya as-Samhudi 2/1361)

Dari riwayat di atas menjelaskan bahwa; bertawassul kepada Rasulullah pasca wafat beliau adalah hal yang legal dan tidak tergolong syirik atau bid’ah. Bagaimana tidak? Sewaktu prilaku dan ungkapan tawassul / istighotsah itu disampaikan oleh si Badui di pusara Rasul -dengan memeluk dan melumuri kepalanya dengan tanah pusara- yang di tujukan kepada Rasul yang sudah dikebumikan, hal itu berlangsung di hadapan Amirul mukminin Ali bin Abi Thalib. Dan khalifah Ali sama sekali tidak menegurnya, padahal beliau adalah salah satu sahabat terkemuka Rasulullah yang memiliki keilmuan yang sangat tinggi dimana Rasulullah pernah bersabda berkaitan dengan Ali bin Abi Thalib KW:

- “Ali bersama kebenaran dan kebenaran bersama Ali” (Lihat: Kitab “Tarikh Baghdad” karya Khatib al-Baghdadi 14/321, dan dengan kandungan yang sama bisa dilihat dalam kitab “Shohih at-Turmudzi” 2/298)

- “Ali bersama al-Quran dan al-Quran bersama Ali, keduanya tidak akan pernah terpisah hingga hari kebangkitan” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” karya al-Hakim an-Naisaburi 3/124)

- “Aku (Rasul) adalah kota ilmu dan Ali adalah pintu gerbangnya. Barangsiapa menghendaki (masuk) kota maka hendaknya melalui pintu gerbangnya” (Lihat: Kitab “Mustadrak as-Shohihain” 3/126)

- “Engkau (Ali) adalah penjelas kepada umatku tentang apa-apa yang mereka selisihkan setelah (kematian)-ku” (Lihat: Kitab Mustadrak as-Shohihain” 3/122)

Jika tawassul / istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah syirik atau bid’ah –sebagaimana yang diiskukan oleh kelompok sekte Wahhaby- dan pada riwayat di atas disebutkan bahwa Ali bin Abi Thalib –pemilik pujian-pujian Rasul yang tertera dalam kitab-kitab Ahlusunnah tadi- yang menjadi saksi perbuatan si Badui muslim tadi -yang bertawassul di pusara Rasul- lantas diam padahal beliau mampu untuk melarangnya jika itu tidak legal (ghair syar’i) maka ada dua kemungkinan;

1- Ali adalah sahabat yang tidak tahu apa-apa (bodoh) tentang hukum Islam, terkhusus masalah larangan bertawassul kepada orang yang telah meninggal. Dimana dari ungkapan pada poin ini juga meniscayakan bahwa, Rasul telah berbohong kepada kita (umatnya), bahwa ternyata Ali bukan pemilik keutamaan-keutamaan seperti hadis-hadis di atas. Bagaimana mungkin orang yang tidak memiliki kemuliaan semacam itu lantas direkomendasikan oleh Rasul yang al-Amin itu?

2- Hadis-hadis pujian Rasul terhadap pribadi Ali itu benar. Dan diamnya Ali atas perbuatan si Badui tadi membuktikan bahwa bertawassul/istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati itu adalah legal menurut syariat Islam, paling tidak yang dipahami Ali sebagai pintu gerbang ilmu Rasul, yang selalu bersama kebenaran, selalu bersama al-Quran dan yang diberi mandat Rasul untuk menjelaskan hal-hal yang terjadi perbedaan pendapat di kalangan kaum muslimin, pasca wafat Rasul.

Tentu, bagi seorang ‘Ahlusunnah wal Jamaah sejati’, pasti ia akan memilih kemungkinan yang kedua. Karena kemungkinan yang pertama itu sangat berat resikonya di dunia maupun di akherat, terkhusus bagi pengaku Ahlusunnah wal Jamaah. Kecuali jika kita melakukan kebodohan sebagaimana apa yang sering dilakukan oleh kebanyakan ulama Wahhaby, mudah menvonis sebuah hadis yang tidak sesuai dengan doktrin akidahnya dengan vonis “hadis lemah” (dho’if), tanpa melakukan pengecekan secara detail terlebih dahulu.

4- Ad-Darami meriwayatkan: Penghuni Madinah mengalami paceklik yang sangat parah. Lantas mereka mengadu kepada Aisyah (ummul Mukminin). Lantas Aisyah mengatakan: “Lihatlah pusara Nabi! Jadikanlah ia (kuburan) sebagai penghubung menuju langit sehingga tidak ada lagi penghalang dengan langit. Lantas ia (perawi) mengatakan: Kemudian mereka (penduduk Madinah) melakukannya, kemudian turunlah hujan yang banyak hingga tumbulah rerumputan dan gemuklah onta-onta dipenuhi dengan lemak. Maka saat itu disebut dengan tahun “al-fatq” (sejahtera)”. (Lihat: Kitab “Sunan ad-Darami” 1/56)

Jika riwayat sebelumnya berkaitan dengan ‘diam’ Ali terhadap orang yang bertawassul kepada yang telah meninggal. Padahal kita tahu bahwa Ali adalah sahabat dan menantu mulia Rasul. Kini berkaitan dengan ‘saran” istri Rasulullah. Jika bertawassul/istighotsah terhadap orang yang telah mati adalah bid’ah atau syirik, maka apakah mungkin istri Rasul -seperti Ummulmukminin Aisyah- tidak mengetahui hal itu, padahal ia selalu hidup bersama Rasul yang selayaknya Rasul sebelum mendidik orang lain terlebih dahulu mendidik istri dan anaknya terlebih dahulu. Jika istighotsah terhadap orang yang zahirnya telah mati adalah bid’ah dan syirik –yang dibenci dalam Islam- lantas, apakah mungkin Rasul tidak megindahkan perintah Allah untuk; “Jagalah dirimu dan keluargamu dari api neraka!”? Apakah kaum pengikut sekte Wahhaby jauh lebih paham Islam daripada Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin Aisyah? Silahkan direnungkan dengan hati dan kepala yang dingin!

5- Diriwayatkan oleh Ibnu Abi Syaibah dengan sanad yang sahih. Dari riwayat Abu Salih as-Saman dari Malik ad-Dar –seorang bendahara Umar- yang berkata: Masyarakat mengalami paceklik pada zaman (kekhalifahan) Umar. Lantas seseorang datang ke makam Nabi seraya berkata: Ya Rasulullah mintakan hujan untuk umatmu, karena mereka hendak binasa. Kemudian datanglah seseorang dimimpi tidurnya dan berkata kepadanya: Datangilah Umar! Saif juga meriwayatkan hal tersebut dalam kitab al-Futuh; Sesungguhnya lelaki yang bermimpi tadi adalah Bilal bin al-Harits al-Muzni, salah seorang sahabat. (Lihat: Kitab “Fathul Bari” 2/577)

Riwayat di atas juga menguatkan bahwa beapa di kalngan sahabat Nabi kala itu sudah menjadi hal yang biasa jika seseorang memiliki hajat untuk bertawassul, walaupun kepada Rasulullah yang secara zahir telah meninggal dunia. Lantas apakah kaum sekte Wahabi masih bersikeras menyatakan bahwa Salaf Saleh tidak pernah mencontohkan perbuatan tersebut sesuai dengan pemahaman mereka terhadap ajaran syariat Nabi? Sekali lagi pertanyaan yang muncul, apakah kaum Wahaby berani menyatakan para sahabat besar itu sebagai pelaku syirik atrau bid’ah karena telah bertawassul kepada yang telah mati? Pertanyaan semacam ini belum pernah ada jawaban yang memuaskan dari kalangan pengikut sekte Wahhaby, karena mereka akan berbenturan dengan pemuka Salaf Saleh seperti sahabat-sahabat besar yang telah kami sebutkan di atas, termasuk Ummulmukminin Aisyah, istri Nabi sendiri.

Guna mengakhiri kajian kali ini, kita akan memberikan satu contoh lagi dari riwayat (atsar) para sahabat berkaitan dengan legalitas syariat Islam terhadap permasalahan istighotsah / tawassul, terkhusus kepada pribadi yang dianggap telah mati.

6- Dalam sebuah riwayat panjang tentang kisah Usman bin Hunaif (salah seorang sahabat mulia Rasul) yang disebutkan oleh at-Tabrani dari Abi Umamah bin Sahal bin Hunaif yang bersumber dari pamannya, Usman bin Hunaif. Disebutkan bahwa, suatu saat seorang lelaki telah beberapa kali mendatangi khalifah Usman bin Affan agar memenuhi hajatnya. Saat itu, Usman tidak menanggapi kedatangannya dan tidak pula memperhatikan hajatnya. Kemusian lelaki itu pergi dan ditengah jalan bertemu Usman bin Hunaif dan mengeluhkan hal yang dihadapinya kepadanya. Mendengar hal itu lantas Usman bin Hunaif mengatakan kepadanya: Ambillah bejana dan berwudhulah. Kemudian pergilah ke masjid (Nabi) dan shalatlah dua rakaat. Seusainya maka katakanlah:
“ا

للهم إني أسألك و أتوجه إليك بنبينا محمد نبي الرحمة يا محمد إني أتوجه بك إلي ربي فتقضي لي حاجت
ي…”
(Ya Allah, sesungguhnya aku memohon kepada-Mu dan mendatangi-Mu demi Nabi-Mu Muhammad yang sebagai Nabi pembawa Rahmat. Wahai Muhammad, aku menghadapkan wajahku kepadamu untuk memohon kepada Tuhanku. Maka kabulkanlah hajatku)
Lantas sebutkanlah hajatmu. Beranjaklah maka aku akan mengiringimu. Kemudian lelaki itu melakukan apa yang telah diberitahukan kepadanya. Selang beberapa saat, lantas ia kembali mendatangi pintu rumah Usman. Usmanpun mempersilahkannya masuk dan duduk di satu kursi dengannya, seraya berkata: Apakah gerangan hajatmu? Lantas ia menyebutkan hajatnya, dan Usmanpun segera memenuhinya. Lantas ia berkata kepadanya: Aku tidak ingat terhadap hajatmu melainkan baru beberapa saat yang lalu saja. Iapun kembali mengatakan: Jika engkau memiliki hajat maka sebutkanlah (kepadaku)! Setelah itu, lelaki itu keluar meninggalkan rumah Usman bin Affan dan kembali bertemu Usman bin Hunaif seraya berkata: Semoga Allah membalas kebaikanmu!? Dia (Usman bin Affan) awalnya tidak melihat dan memperhatikan hajatku sehingga engkau telah berbicaranya kepadanya tentangku. Lantas Usman bin Hunaif berkata: Demi Allah, aku tidak pernah berbicara tentang kamu kepadanya. Tetapi aku telah melihat Rasulullah SAW didatangi dan dikeluhi oleh seorang yang terkena musibah penyakit (info: ini mengisaratkan pada hadis tentang sahabat yang mendatangi Rasul karena kehilangan penglihatannya yang diriwayatkan dalam kitab “Musnad Ahmad” 4/138, “Sunan at-Turmudzi” 5/569 hadis ke-3578, “Sunan Ibnu Majah” 1/441 dan “Mustadrak as-Shohihain” 1/313) kehilangan kekuatan penglihatannya, lantas Nabi bersabda kepadanya: Bersabarlah! Lelaki itu menjawab: Wahai Rasulullah, aku tidak memiliki penggandeng dan itu sangat menyulitkanku. Lantas Nabi bersabda: Ambillah bejana dan berwudhulah, kemudian shalatlah dua rakaat. Lantas bacalah doa-doa berikut…. berkata Ibnu Hunaif: Demi Allah, kami tidak akan meninggalkan (cara tawassul itu). Percakapan itu begitu panjang sehingga datanglah seorang lelaki yang seakan dia tidak mengidap satu penyakit. (Lihat: Kitab “Mu’jam at-Tabrani” 9/30 nomer 8311, “al-Mu’jam as-Shoghir” 1/183, dikatakan hadis ini sahih)

Lihat hadis di atas, bagaimana sahabat Usman bin Hunaif memahami ajaran Rasul yang mengajarkan diperbolehkannya tawassul kepada Rasul pada masa hidupnya namun ia juga terapkan pada pasca kematian beliau. Apakah pemahaman sahabat Usman bin Hunaif itu tidak bisa dibenarkan? Sebodoh itukah sahabat Usman bin Hunaif yang menerapkan hadis Rasul tentang tawassul kepada yang masih hidup dengan legalitas tawassul kepada yang mati? Jika ada pengikut sekte Wahhaby yang berani menyatakan bahwa sahabat Usman bin Hunaif adalah bodoh maka jangan segan-segan juga untuk menyatakan bahwa khalifah Ali bin Abi Thalib dan Ummulmukminin pun bodoh, sebagaimana banyak sahabat lainnya. Kenapa tidak? Bukankah mereka semua membenarkan ajaran tawassul / istighotsah kepada Rasul yang telah mati? Atau selama ini pemahaman Wahhaby yang salah bahwa Nabi tidak ‘mati’, zahirnya saja ‘mati’,tetapi beliau selalu hidup dan mendengar setiap permintaan yang diajukan umatnya kepada beliau, sebagai sarana (wasilah) menuju Allah SWT.

Yang sangat mengherankan sekali adalah, Nashiruddin al-Bani (konon Ahli Hadis kalangan Wahabi) dalam karyanya yang berjudul “at-Tawassul” yang tidak lagi dapat meragukan kesahihan riwayat di atas (sebagaimana yang dinyatakan sahih oleh at-Tabrani) ternyata jiwa kewahabiannya terlalu kental -sehingga fanatisme setaninya sangat kuat membikin dia keras kepala dan jumud- dan tidak berani menolak fatwa pendahulunya, Muhammad bin Abdul Wahhab dan Ibnu Taimiyah. Seakan fatwa kedua orang itu adalah wahyu yang datang dari langit yang tidak boleh diganggu-gugat. Padahal kejelasan dalil sudah nyata baginya. Keangkuhannya dalam menghadapi kenyataan (baca: kebenaran) semacam inilah yang ternyata juga masih diikuti oleh para pengikut Wahhabi di dunia ini, tidak terkecuali di Tanah Anir. Padahal, riwayat sahabat Usman bin Hunaif –yang menjadi kepercayaan sahabat Ali dan Umar (Lihat: Kitab “Siar A’lam an-Nubala’” 2/320)- sebegitu jelasnya, sebagaimana keberadaan matahari di siang hari yang cerah. Memang benar firman Allah SWT yang menyatakan bahwa, kita tidak akan dapat memberi petunjuk kepada kaum yang telah tersesat, dan Allah akan menambah kesesatan mereka. Bagaimana mungkin ajaran sekte (Wahabisme) yang bertumpu pada pengingkaran hakekat itu akan mengaku sebagai pemurnian ajaran Islam? Namun, bagaimanapun, kebenaran harus disampaikan, karena tugas kita hanyalah menyampaikan.

Ini semua adalah beberapa contoh dari riwayat-riwayat yang dapat kita kemukakan pada kesempatan kali ini. Tentu masih banyak riwayat lain yang tidak akan mungin kita sebutkan di sini, untuk mempersingkat waktu dan tempat. Yang jelas, Salaf Saleh telah memberikan contoh kepada kita tentang pemahaman mereka terhadap ajaran Islam -yang bersumber dari al-Quran dan Sunnah Rasul- terhadap legalitas tawassul / istighotsah terhadap para kekasih Ilahi, walaupun pasca kematian zahir mereka.